Terkini Internasional
Perdana Menteri Israel Tolak Usulan AS yang Ingin Membuka Kembali Konsulat Palestina di Yerusalem
"Tidak ada ruang untuk konsulat Amerika lainnya di Yerusalem. Yerusalem adalah ibu kota satu negara dan itu adalah negara Israel," ujar PM Israel.
TRIBUNTERNATE.COM - Pemerintah Israel menolak permintaan pemerintahan Joe Biden yang mengizinkan Amerika Serikat (AS) membuka kembali konsulat bagi warga wilayah Palestina di Yerusalem.
Permintaan pemerintahan Joe Biden ini menjadi bagian dari salah satu upaya Gedung Putih untuk memperbaiki hubungan dengan para pemimpin Palestina.
Pada sebuah konferensi pers yang digelar pada Minggu (14/11/2021), Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengatakan tidak ada ruang untuk konsulat kedua AS di Yerusalem.
Sebagai informasi, sebelumnya AS telah menutup kosulatnya yang melayani warga Palestina pada tahun 2019.
Penutupan itu dilakukan pada masa pemerintahan Trump, di mana ia secara resmi mengakui bahwa Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Baca juga: Israel Bentuk Pemerintah Baru, Presiden Palestina: Kami Tetap Inginkan Negara Palestina
Langkah tersebut membuat para pejabat Palestina marah, karena kota itu juga diklaim oleh Otoritas Nasional Palestina sebagai ibu kota.
"Tidak ada ruang untuk konsulat Amerika lainnya di Yerusalem," kata Perdana Menteri Israel seperti dikutip The Independent dari The Associated Press.
"Yerusalem adalah ibu kota satu negara dan itu adalah negara Israel," lanjut Bennett.
Namun demikian, layanan konsulat untuk Palestina terus berlanjut hingga tingkat terbatas di kedutaan yang dibuka oleh AS di Yerusalem.
Kedutaan AS di Yerusalem itu utamanya berfungsi sebagai markas besar hubungan AS dengan Israel, namun juga berisi Unit Urusan Palestina-AS.
Lebih lanjut, pemerintah Israel telah mengusulkan kepada AS agar mereka membuka konsulat di Tepi Barat.
Tetapi, gagasan ini ditentang oleh para pemimpin Palestina yang menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai satu-satunya Ibu Kota Israel dan mencari bagian timur kota Yerusalem sebagai bagian dari wilayah yang mereka klaim.
Sebelumnya, pemerintahan Trump sangat bersekutu dengan mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu selama bertahun-tahun Donald Trump menjabat.
Baca juga: Parlemen AS Setujui Kucuran Dana Sebesar 1 Miliar Dolar AS untuk Iron Dome Israel
Dalam masa itu, Donald Trump yang menjabat sebagai Presiden AS juga terus mengawal pengakuan resmi kedaulatan Israel oleh Bahrain dan Uni Emirat Arab.
Pada saat yang sama, hubungan AS dengan Palestina pun memburuk dan upaya Gedung Putih untuk merekayasa kesepakatan antara para pemimpin Israel dan Palestina tidak pernah membuahkan hasil.
Pengalaman tersebut juga mencerminkan upaya Trump yang gagal mencapai kesepakatan besar dengan Kim Jong-Un.
Padahal, ia telah berbulan-bulan melakukan diplomasi dan menjadi salah satu Presiden AS pertama yang melintasi perbatasan Korea Utara.
Ned Price, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS dengan tajam pun mengkritik pengumuman rencana untuk melanjutkan pembangunan permukiman bagi orang Israel di tanah yang diklaim oleh Otoritas Palestina pada bulan lalu.
Ia mengatakan bahwa rencana seperti itu hanya akan merusak prospek solusi antar dua negara.
"Kami sangat menentang perluasan pemukiman yang sama sekali tidak konsisten dengan upaya untuk menurunkan ketegangan dan untuk memastikan ketenangan," kata Ned Price pada Oktober lalu.
Pembangunan pemukiman Israel yang berujung pada penghancuran rumah-rumah Palestina di lingkungan dan wilayah yang diperebutkan telah menjadi titik nyala konflik antar negara itu.
Sebab, gambar dan video dari adegan pembangunan dan penghancuran itu telah menyebar dengan cepat di media sosial di AS dan negara-negara lain.
Baca juga: Belum Genap Sehari Gencatan Senjata, Israel Serang Warga Palestina yang Salat Jumat di Al Aqsa
Video itu beredar di awal tahun 2021 pada saat penggusuran lusinan keluarga Palestina dimulai di lingkungan Sheikh Jarrah.
Pemukim Israel yang terlibat dalam kontroversi Sheikh Jarrah bersikeras bahwa orang-orang Yahudi dan perluasan pemerintah Israel memiliki hak atas tanah itu.
Sementara, warga Palestina menyebut konflik ini sebagai perkara pembersihan etnis.
Kini, masalah itu sedang diajukan dalam proses banding ke pengadilan tertinggi Israel setelah keluarga Palestina yang tinggal di tanah itu menolak untuk berkompromi.
Keluarga-keluarga Palestina yang tinggal di sana mengatakan bahwa mereka akan tetap tinggal di tanah itu, namun mereka akan mengakhiri kepemilikan atas tanah itu.
Mereka juga memilih untuk membayar biaya tahunan hanya untuk agar bisa tetap tinggal di sana.
(TribunTernate.com/Ron)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/ternate/foto/bank/originals/bennett-naftali.jpg)