Virus Corona
WHO: Fase Kritis Covid-19 Bisa Berakhir pada Pertengahan Tahun 2022 Jika Syarat Ini Terpenuhi
Dirjen WHO mengatakan bahwa fase kritis atau akut dari pandemi Covid-19 akan bisa berakhir pada pertengahan tahun 2022, yakni pada Juni atau Juli.
TRIBUNTERNATE.COM - Pada Jumat (11/2/2022), Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa fase akut dari pandemi Covid-19 akan bisa berakhir di tahun 2022.
Namun, hal itu bisa terwujud hanya jika sekitar 70 persen populasi dunia sudah divaksinasi Covid-19.
Hal tersebut disampaikan Dirjen WHO saat berkunjung ke Afrigen Biologics and Vaccines, perusahaan yang memproduksi vaksin mRNA Covid-19 pertama yang dibuat di Afrika menggunakan Moderna sequence.
"Harapan kami, fase akut pandemi ini akan berakhir tahun ini, tentunya dengan satu syarat, yakni vaksinasi 70 persen (target tercapai) pada pertengahan tahun ini sekitar Juni atau Juli," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus dikutip dari The Straits Times.
Diketahui, hingga saat ini di Afrika sendiri baru ada 11 persen populasi yang sudah divaksinasi.
Pekan lalu, kantor WHO di Afrika menyampaikan bahwa angka tersebut merupakan angka vaksinasi yang terendah di dunia.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa benua Afrika harus meningkatkan tingkat vaksinasi mereka enam kali lipat untuk bisa mencapai target vaksinasi 70 persen.
Baca juga: WHO: Terlalu Dini untuk Mengklaim Dunia telah Menang Lawan Pandemi Covid-19
Baca juga: Vaksin Covid-19 Novavax Efektif 82 Persen Melindungi dari Virus Corona

WHO: Terlalu Dini Mengklaim 'Dunia telah Menang Lawan Pandemi Covid-19'
Pada Selasa (1/2/2022), Direktur Jenderal WHO memperingatkan bahwa terlalu dini bagi negara-negara di dunia untuk menyatakan kemenangan atas Covid-19 atau menghentikan upaya-upaya penekanan penularan.
"Masih terlalu dini bagi negara mana pun untuk menyerah atau menyatakan kemenangan," kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan, dikutip dari Straits Times.
"Virus ini berbahaya, dan terus berkembang di depan mata kita," lanjutnya.
Pernyataan Tedros ini muncul ketika Denmark menjadi negara Uni Eropa pertama yang mencabut semua pembatasan Covid-19 domestiknya meskipun ada rekor jumlah kasus varian Omicron yang lebih ringan
Kemudian, sejumlah negara lain mempertimbangkan langkah serupa.
"Kami prihatin bahwa narasi yang berlaku di beberapa negara menyebut, berkat vaksin dan karena penularan Omicron yang tinggi serta tingkat keparahan yang lebih rendah, upaya pencegahan penularan Covid-19 sudah tidak mungkin lagi [dilakukan, red.], dan tidak lagi diperlukan," kata Tedros.
"Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran daripada narasi itu," tambahnya, menekankan bahwa "lebih banyak penularan Covid-19 berarti akan ada pula lebih banyak kematian."
Sementara itu, Kepala Badan Kesehatan PBB menunjukkan bahwa sejak Omicron pertama kali terdeteksi di Afrika selatan, hampir 90 juta kasus Covid-19 telah dilaporkan ke WHO, jumlah ini jauh lebih banyak daripada tahun 2020.
Sementara, varian Covid-19 baru itu diketahui lebih ringan gejalanya, dia menekankan bahwa "kita sekarang mulai melihat adanya peningkatan kematian yang sangat mengkhawatirkan di sebagian besar wilayah dunia."

Sejak Covid-19 pertama kali muncul di China pada akhir 2019, lebih dari 373 juta kasus yang dikonfirmasi dan hampir 5,7 juta kematian telah dilaporkan ke WHO. Akan tetapi, jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.
Kemudian, Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan mengakui bahwa di beberapa negara dengan sistem kesehatan yang kuat dan cakupan vaksinasi yang luas, memang rasanya sudah cukup masuk akal untuk mulai menghapus beberapa pembatasan.
Baca juga: WHO: Omicron Bahaya bagi yang Belum Divaksinasi dan Bisa Timbulkan Varian Baru yang Lebih Ganas
Baca juga: Swedia Nyatakan Pandemi Covid-19 Sudah Berakhir di Negaranya, Aturan dan Pembatasan Resmi Dicabut
Namun, dia memperingatkan bahwa "negara-negara yang membuat keputusan untuk membuka diri secara lebih luas juga perlu memastikan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memperkenalkan kembali langkah-langkah dengan penerimaan masyarakat dengan cepat jika diperlukan" - misalnya, jika jumlah kasus melonjak atau varian baru yang lebih berbahaya muncul.
"Kalau buka pintunya cepat, (harusnya) juga bisa menutupnya dengan sangat cepat juga," katanya.
Dia juga menyayangkan negara-negara tanpa cakupan vaksin tingkat tinggi atau infrastruktur kesehatan kuat yang justru "secara membabi buta" tunduk pada tekanan politik untuk mulai mencabut pembatasan.
"Ketakutan terbesar saya saat ini adalah bahwa negara-negara akan memiliki sindrom lemming dan akan membuka diri hanya karena negara tetangga mereka sudah terbuka," katanya kepada wartawan.
Menyerah pada tekanan semacam itu, dia memperingatkan, akan menimbulkan risiko penularan yang tidak perlu, gejala penyakit yang parah, dan yang terburuk, kematian.
Kemudian, Tedros menekankan perlunya untuk terus melacak varian-varian virus corona yang muncul, termasuk sub-garis keturunan Omicron BA.2.
"Virus ini akan terus berkembang, itulah sebabnya kami meminta negara-negara di dunia untuk melanjutkan pengujian, pengawasan, dan pengurutan virus," katanya.
"Kita tidak bisa melawan virus ini jika kita tidak tahu apa yang dilakukannya," tambah Tedros.
(TribunTernate.com/Ron)(The Straits Times)