BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual-Beli Rumah, Komisi II DPR RI: Apa Hubungannya?
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim, buka suara soal adanya kebijakan kepemilikan BPJS Kesehatan untuk syarat dalam layanan pertanahan.
TRIBUNTERNATE.COM - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim, buka suara soal adanya kebijakan wajib bagi masyarakat memiliki kartu Kepesertaan BPJS Kesehatan untuk syarat dalam layanan pertanahan.
Luqman Hakim menilai hal ini merupakan bagian dari praktik kekuasaan yang irasional dan sewenang-wenang karena sama saja memaksa rakyat menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Untuk itu, pihaknya mendesak Mentari Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil, untuk membatalkan kebijakan barunya ini.
“Apa hubungannya antara jual beli tanah dengan BPJS Kesehatan?"
"Secara filosofi konstitusi, kepemilikan tanah dan jaminan sosial kesehatan merupakan hak rakyat yang harus dilindungi negara,” kata Luqman Hakim, Minggu (20/2/2022), dikutip dari laman resmi dpr.go.id.
Menurut Luqman Hakim, seharusnya Menteri Sofyan Djalil memberi masukan jika ada kekeliruan terkait aturan pertanahan.
“Jika di dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 terdapat kekeliruan yang terkait dengan masalah pertanahan."
"Seharusnya, Menteri Sofyan Djalil sebagai pembantu presiden, (yakni dengan) memberi masukan agar inpres itu direvisi sehingga rakyat tidak dirugikan."
"Jangan malah sebaliknya, bersikap seolah tidak tahu ada masalah dan langsung melaksanakannya,” ujar Luqman Hakim.
Baca juga: Dirut BPJS Beri Penjelasan Soal Kepesertaan BPJS Jadi Syarat Jual-Beli Tanah
Baca juga: Tak Hanya Jual Beli Tanah, BPJS Kesehatan Juga Jadi Syarat Bikin SIM, STNK, KUR hingga SKCK
Bagi Luqman Hakim, dalam melaksanakan kewajiban melindungi hak rakyat, negara tidak boleh memberangus hak rakyat lainnya.
Sebelumnya, diberitakan Kementerian ATR/BPN membuat aturan yang mewajibkan Kartu BPJS Kesehatan sebagai syarat dalam pengurusan hak atas tanah.
Aturan ini sebagai penjabaran dari Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 2022 dan akan berlaku mulai 1 Maret 2022, mendatang.
Kebijakan ini memicu pro dan kontra masyarakat dan tokoh politik.

Seperti halnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Saat dihubungi Tribunnews.com, Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebut kebijakan tersebut jelas tidak relevan.