Egalitarianisme ala Kesultanan Ternate: Angkat Kapita Bugis Sebagai Pejabat Adat
Sultan Ternate Hidayatullah Syah melantik tokoh Bugis sebagai Kapita Bugis di Kedaton Kesultanan Ternate.
Suku Bugis bersumpah di kaki bukit Keraton Ternate untuk Allah kabulkan doanya. Dan seketika itu juga doa dikabulkan dengan tanda terpancarnya air di kaki bukit yang disebut dengan air santosa.
Saat itu sumpah persaudaraan Ternate - Bugis Bone diikrarkan sampai bercampur air laut dan air santosa. (Dimana tidak mungkin akan bersatu dua air tersebut hingga hari akhir).
Yang menarik dari penjelasan Abdi Ndalem tersebut bahwa Kesultanan Ternate selalu terbuka dengan para pendatang dari luar.
Bahkan pendatang tersebut diberikan jabatan adat dan dimasukkan ke dalam struktur Kesultanan Ternate.
Sultan Ternate selalu merangkul pendatang dari suku manapun dalam sebuah konsep pembauran yang dilakukan sejak jaman dulu.
Sehingga sampai anak keturunan para pendatang tidak lagi disebut sebagai pendatang lagi. Pendatang itu dijuluki Fanyira Bugis, Fanyira Makassar dan bahkan ada Fanyira Jawa.
Dijelaskan, Sultan Ternate ke-31 memakai gelar Mandar Syah, yakni merujuk pada suku Mandar, selain dari suku Bugis dan Makassar yang ada di Pulau Sulawesi.
Keturunan pendatang tersebut tidak bicara menggunakan bahasa Bugis, Makassar dan Jawa lagi. Mereka sudah diakui sebagai warga Ternate namun tanpa harus meninggalkan identitas asal usul nenek moyangnya.
"Mulai hari ini pintu Kedaton Ternate selalu terbuka buat orang Bugis dan Makassar.
Kesultanan Ternate juga memperbolehkan untuk memakai pakaian adat Bugis-Makassar karena itu identitas dan kebanggaan," tutup Abdi Ndalem dalam penjelasannya.
Begitulah sikap Egalitarianisme Kesultanan Ternate yang terawat hingga kini. Yakni sebuah sikap seorang pemimpin yang memiliki pandangan persamaan derajat manusia tanpa membedakan suku dan ras.
Inilah warisan dari salah satu Kesultanan Islam tua di Bumi Nusantara. Sebuah warisan yang tak ternilai harganya demi merawat kerukunan, persatuan dan persaudaraan yang harus diwariskan kepada anak-cucu hingga akhir kehidupan dunia. Kita manusia sejatinya sama di sisi Allah SWT. Yang membedakan hanyalah derajat ketaqwaan di sisi-NYA.