Polemik TWK, Ketua Umum PP Muhammadiyah: Semestinya TWK untuk KPK Maupun ASN Bersifat Objektif

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir.

TRIBUNTERNATE.COM - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, turut memberikan tanggapan mengenai polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) yang melingkupi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Diketahui, 75 pegawai KPK tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi salah satu bagian dari proses alih status sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, 51 dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, diberhentikan alias dipecat karena dinilai tidak bisa mengikuti pelatihan dan pembinaan lanjutan, pada Selasa (25/5/2021).

Kemudian, 24 lainnya dinilai masih layak mengikuti pelatihan dan pendidikan wawasan kebangsaan.

Sementara, 1.274 pegawai KPK yang lolos TWK rencananya akan dilantik sebagai ASN pada Selasa (1/6/2021).

Seleksi kepegawaian KPK dengan TWK sebagai salah satu syarat menjadi ASN dinilai menjadi upaya penyingkiran orang-orang yang berintegritas dan berdedikasi tinggi dalam memberantas korupsi.

Belum lagi, para pegawai KPK yang tidak lolos TWK dilabeli dengan stigma radikal dan Taliban.

Baca juga: Pegawai KPK yang Lolos TWK Dilantik Jadi ASN 1 Juni 2021, Febri Diansyah: Apa yang Ingin Dipaksakan?

Baca juga: Polemik TWK: Pengamat Nilai Harus Segera Dihentikan, Komnas HAM akan Dalami Keterangan Pegawai KPK

Baca juga: ILUNI UI: Jika Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK Dipecat, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia Menurun

Baca juga: 24 Pegawai KPK Disebut Tak Bisa Dibina, Novel Baswedan: Seperti Dibuat Lebih Jelek daripada Koruptor

Dalam sebuah utas yang diunggah di akun Twitter @HaedarNs pada Senin (31/5/2021), Haedar Nashir menyebutkan bahwa sifat TWK harusnya objektif dan sejiwa dengan Pancasila dan Konstitusi.

Terlepas TWK itu untuk calon penyidik KPK maupun ASN.

Sifat objektif TWK juga harus tercermin dalam memposisikan agama dan umat beragama yang dijamin pasal 29 UUD 1945.

Cendekiawan Muslim Indonesia ini pun melanjutkan, jangan sampai ada bias, reduksi, dan politisasi dari pihak manapun, baik yang ada di pemerintahan maupun kekuatan komponen bangsa.

Menurut Haedar Nashir, cara untuk melawan paham radikal-ekstrem harus benar dan objektif, sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta karakter bangsa Indonesia yang beragama dan berkebudayaan luhur bercirikan moderat.

Selain itu, juga tidak boleh membawa-bawa paham radikal-ekstrem lainnya yang dibungkus dengan otoritas kuasa.

Pria kelahiran Bandung, 25 Februari 1958 ini menyampaikan, ada sejumlah sifat yang harus dipenuhi oleh semua pihak dalam menguraikan polemik TWK ini.

Yakni, tulus, jujur, adil, objektif, profesional, ilmiah, taat asas, konstitusional, bermoral utama, serta menjunjung tinggi kebenaran, kebaikan, dan kebersamaan dalam mengurus negara dan hidup berbangsa.

Di akhir utas cuitannya, Haedar Nashir mengajukan pertanyaan retoris, apakah kita ingin bangsa Indonesia terpecah belah karena ada salah kaprah dan salah langkah.

Ia mengimbau untuk mengedepankan dialog dan solusi dengan jiwa kenegaraan tinggi dalam menyelesaikan masalah, khususnya polemik TWK pegawai KPK yang semakin memanas ini.

Haedar Nashir mengimbau semua pihak yang terkait untuk saling introspeksi diri dan jangan ingin menangnya sendiri.

Baca juga: Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2021, Simak Sejarah Singkat, Logo, dan Tema Peringatannya

Baca juga: Nadiem Makarim Libatkan Perguruan Tinggi untuk Akselerasi Vaksinasi Tenaga Pendidik Jelang PTM

Baca juga: IPW: Salah Kaprah Jika Ombudsman, Komnas HAM, dan PGI Mau Diperalat Novel Baswedan cs

Baca juga: Waketum MUI Minta Erick Thohir Lebih Rasional saat Tunjuk Seseorang Jabat Posisi di BUMN

Sederet Pertanyaan TWK Pegawai KPK: Kesediaan Lepas Kerudung, Status Pernikahan hingga Pilih Alquran atau Pancasila

Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tri Artining Putri menyebut sejumlah pertanyaan janggal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Pertanyaan-pertanyaan itu dinilai tidak punya korelasi dengan wawasan kebangsaan.

Puput, demikian sapaan akrabnya, termasuk dalam 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.

Pewawancara atau asesor melayangkan pertanyaan pilihan kepada pegawai KPK untuk memilih Al-Quran atau Pancasila.

“Ada juga yang ditanya terkait dengan pilih mana Al-quran atau Pancasila. Seolah-olah Al-quran dan Pancasila tidak bisa berjalan beriringan,” ujar Putri dalam diskusi daring bertajuk: “Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Minggu (30/5/2021).

“Seolah-olah di Pancasila, tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka seolah-olah Al-quran tidak bisa sejalan dengan Pancasila,” jelasnya, diwartakan Tribunnews.com.  

Saat itu, temannya itu didesak harus memilih salah satu antara Al-quran atau Pancasila.

“Teman saya sudah menjawab, ‘saya sebagai umat Islam saya berpegang teguh kepada Al-quran, tapi kalau sebagai warga negara, saya ikut ideologi negara yaitu Pancasila.’ Enggak bisa harus pilih salah satu, akhirnya teman saya bilang ya sudah saya pilih Alquran,” ucapnya.

“Mungkin  itu yang disebut menjadi radikal dan tidak lulus, saya juga nggak tahu,” katanya.

Kemudian ada pula pertanyaan lain, lanjut dia, apakah bersedia atau tidak membuka hijab demi bagsa dan negara. Temannya menjawab tidak bersedia untuk itu.

“Ada yang diminta lepas kerudung demi bangsa dan negara, bersedia atau tidak. Teman saya bilang, tidak bersedia. Lalu  dibilang, ‘egois kali kamu ya nggak mau melepas jilbab demi bangsa dan negara,’” ujarnya.

“Padahal teman saya bilang apa korelasinya harus lepas kerudung untuk bangsa dan negara. Kami semua merasa apa korelasi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan wawasan kebangsaan, kalau memang untuk mendapatkan label wawasan kebangsaan kami harus rela dilecehkan,” jelasnya.

Selain itu ada juga pegawai perempuan alami pelecehan yang dilakukan pewawancara berjenis kelamin laki-laki itu terjadi terhadap seorang pegawai KPK berjenis kelamin perempuan berusia 35 tahun dan belum menikah.

“Saya mendapat beberapa cerita yang sangat bikin memprihatinkan dan bikin sedih begitu ya. Usianya sekitar 35 tahun yang belum menikah, lalu ditanya ‘kenapa belum menikah umur segini?’” tutur Putri.

 “Lalu ditanya jangan-jangan LGBT, apa masih punya hasrat atau tidak. Lalu ditutup dengan bagaimana kalau nikah sama saya saja, mau nggak jadi istri kedua,” jelasnya.

Meskipun akhirnya si pewawancara mengakui itu hanya candaan, dia menilai, permyataan itu tetap merupakan sebuah pelecehan seksual terhadap perempuan.

“Lalu dengan entengnya pewawancara yang laki-laki itu berkata enggak usah diambil hati ya mbak itu tadi saya cuma bercanda loh,” ucapnya.

“Itu bukan candaan tetapi itu pelecehan” tegasnya.

Selain itu dia menilai tak ada korelasi soal dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dengan pemberantasan korupsi.

Diketahui, Putri merupakan satu dari 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK. 

Dirinya belum mengetahui apakah masuk kategori 51 pegawai yang dilabeli merah atau masuk kategori 24 yang bisa dibina.

"Korelasi soal dengan antikorupsi menurut saya nol, karena dari 200an soal yang saya jalani dan 45 menit wawancara dengan asesor, itu tidak ada sama sekali terkait dengan antikorupsi," kata Putri.

Dia mencontohkan bagaimana soal-soal yang dikerjakannya tidak menyinggung kebijakan yang berkaitan dengan pemberantasan antikorupsi serta payung hukumnya.

"Misalnya apakah saya mengingat UU Tipikor atau saya mengingat tentang UU tahun 2019 itu tidak ada," katanya

Ada satu soal, dikatakan Putri, tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau KKN. Namun, Putri tak mengingatnya sebab soal itu tidak memorable.

Begitu juga saat tes wawancara dengan asesor dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), Putri tidak melihat adanya semacam perkenalan asesor dari instansi mana.

Putri membayangkan jika seorang asesor memperkenalkan diri dari instansi terkait dan tujuannya untuk mewawancara.

"Tidak ada perkenalan juga. Kalau beredar BKN punya rekamannya, tidak ada pemberitahuan kepada kami bahwa 'wawancara ini akan direkam' tak ada pemberitahuan seperti itu," katanya

"Jadi begitu saya masuk sudah ada dua asesor yang menunggu. Keduanya laki-laki, langsung bertanya, pegang data. Soal-soalnya tak ada hubungan dengan antikorupsi, malah cenderung melecehkan," tandas Putri.

(TribunTernate.com/Rizki A.) (Tribunnews.com/Srihandriatmo Malau)

Berita Terkini