TRIBUNTERNATE.COM - Simak ketentuan surat suara dinyatakan sah atau tidak sah saat hari H pencoblosan dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Diketahui, Pemilu 2024 digelar secara serentak pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang.
Masyarakat yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan memilih pasangan presiden dan wakil presiden serta calon legislatif (caleg) DPR baik pusat maupun daerah.
Total, ada 5 jenis surat suara yang akan dicoblos masing-masing pemilih.
Sama dengan Pemilu 2019, pada Pemilu 2024 ini metode pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos surat suara.
Metode itu diatur dalam Pasal 353 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal tersebut berbunyi, ”Pemberian suara untuk pemilu dilakukan dengan cara mencoblos satu kali, yakni pada nomor, nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar partai politik pengusul dalam satu kotak pada surat suara untuk pemilu presiden dan wakil presiden.”
Maka, dalam menggunakan hak pilihnya di hari H pencoblosan pada Rabu,14 Februari 2024 nanti, para pemilih disediakan alat untuk mencoblos, yakni alas, paku lengkap tali pengikat di bilik suara berukuran 60 sentimeter x 50 sentimeter.
Berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, ada saja pemilih yang salah mencoblos sehingga suaranya tidak dihitung karena surat suara dianggap tidak sah.
Lalu, bagaimana cara mencoblos yang benar agar suara yang diberikan tidak sia-sia?
Baca juga: 5 Jenis Surat Suara dalam Pemilu 2024, Tata Cara Mencoblos yang Benar, dan Jadwal 1 atau 2 Putaran
Baca juga: Cara Cek Lokasi TPS untuk Mencoblos di Pemilu 2024, Simak Dokumen yang Harus Dibawa ke TPS
Baca juga: Pemilu 2024 Digelar 14 Februari, Simak Rincian Tugas KPPS 1 Sampai 7 dan Link PDF Buku Panduannya
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 53 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu, ada beberapa kondisi surat suara dinyatakan sah.
Suara untuk pemilu presiden dan wakil presiden dinyatakan sah jika yang dicoblos adalah nomor urut, foto, nama salah satu dari capres atau cawapres, serta tanda gambar partai politik (parpol) dan atau gabungan parpol dalam surat suara.
Sementara, surat suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah jika yang dicoblos adalah nomor atau tanda gambar parpol, dan atau nama caleg.
Sementara, suara untuk pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinyatakan sah jika tanda coblos terdapat pada kolom satu calon, tidak keluar atau berada di garis yang membatasi nama satu calon dengan calon lainnya.
Suara tetap dinyatakan sah meskipun surat suara dicoblos lebih dari satu kali sepanjang masih dalam di satu kolom pasangan capres-cawapres yang sama, atau kolom parpol yang sama untuk pemilu anggota legislatif (Pileg).
Anggota KPU, August Mellaz, menjelaskan, tata cara pemberian suara di Pemilu 2024 tidak mengalami perubahan dari pemilu sebelumnya, yakni dengan mencoblos.
Keputusan itu bertujuan supaya pemilih semakin terbiasa dan familiar memberikan suara dengan cara mencoblos sehingga diharapkan mengurangi potensi suara tidak sah akibat kekeliruan dalam mencoblos.
”Seharusnya bisa memudahkan pemilih karena tata cara pemberian suaranya tidak berubah. Hanya untuk pemilih pemula yang belum terbiasa sehingga kami berikan sosialisasi cara pemberian suara kepada mereka,” ujarnya di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Baca juga: LENGKAP, Ini Denah, Ukuran, dan Alur Pemilih di TPS Pemilu 2024
Baca juga: Masa Kerja KPPS Pemilu 2024 Satu Bulan, Gaji Naik dari Pemilu 2019, Ada Santunan Kecelakaan Kerja
Sejak pemilu pertama di Indonesia digelar pada 1955, sudah beragam tata cara pemberian suara diterapkan. Dari mencoblos, menulis, mencontreng, dan kembali lagi ke mencoblos surat suara.
Pada Pemilu 1955, pemilih memberikan suaranya untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante dengan mencoblos dan atau menulis di surat suara.
Hal ini tertuang dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955.
Dalam aturan itu disebutkan, pemilih memberikan suara dengan menusuk tanda atau gambar.
Hal lainnya juga disebutkan, pemilih memberikan suara kepada seorang calon dengan menulis nomor serta nama dari calon dalam ruangan (space) yang disediakan dalam surat suara.
Untuk memudahkan pemilih menulis nama calon yang dipilihnya, di setiap bilik suara dipasang daftar calon tetap.
Tata cara pemberian suara dengan mencoblos kemudian menjadi satu-satunya metode yang digunakan pada enam kali pemilu di era Orde Baru serta empat kali pemilu pascareformasi 1998.
Terhitung sejak Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1998, 1999, 1997, 1999, hingga 2004, pemilih mencoblos surat suara.
Sementara pada Pemilu 2009, terjadi perubahan tata cara pemberian suara dari mencoblos menjadi mencontreng.
Namun, baru sekali digunakan, metode iru langsung dievaluasi.
Pembuat undang-undang sepakat untuk kembali menggunakan metode mencoblos pada 2014, 2019, dan Pemilu 2024 mendatang.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, banyak pihak keberatan dengan penggunaan tata cara mencontreng ketika mendekati pemungutan suara Pemilu 2009.
Sebagian pihak menilai tata cara memberikan suara dengan mencontreng membuat pemilih kebingungan dan sulit menentukan suara sah atau tidak sah.
Metode mencontreng juga dinilai menyulitkan pemilih yang masih buta huruf.
Bahkan, surat suara tidak sah saat menggunakan tata cara mencontreng cukup tinggi.
Pada Pileg 2009, suara tidak sah mencapai 15,43 persen atau 17,5 juta suara.
Sementara surat suara tidak sah untuk pilpres mencapai 5,06 persen atau setara 6,4 juta suara.
”Indonesia akhirnya kembali ke metode mencoblos untuk memudahkan pemilih, bukan karena pertimbangan metodenya kuno atau tidak,” ujarnya.
Titi mengingatkan, pemilih sebaiknya mencoblos satu kali di setiap surat suara Pemilu 2024.
Sebab, tidak semua Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) memahami surat suara dianggap sah atau tidak sah.
Ini karena ada banyak varian suara dianggap sah, yakni empat varian untuk pilpres, 16 varian untuk pileg anggota DPR dan DPRD, serta tiga varian untuk pemilihan DPD.
Bahkan, dalam beberapa kasus yang ditemuinya, mencoblos dua kali, yakni di kolom parpol dan caleg, terkadang dihitung dua suara sehingga mengakibatkan penghitungan suara ulang.
Oleh sebab itu, pemilih sebaiknya memulai menggunakan hak pilihnya dengan membentangkan surat suara, lalu mengamati semua gambar dan tulisan dalam surat suara.
Setelah itu, cobloslah dengan tenang kandidat yang akan dipilih. Ini penting agar lubang coblosan tidak melebar ke luar kolom kandidat yang dikehendaki.
”Ketika pemilih diberi kesempatan memilih caleg langsung, sebaiknya langsung coblos di nama caleg dan pastikan lubang coblosan tidak keluar kolom,” ucap Titi.
Artikel ini tayang di Kompas.ID