TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Ternate mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama periode Januari hingga Juni 2025.
Hal ini disampaikan Kabid Perlindungan Hak Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Kota Ternate, Fitria Boamona, Rabu (20/8/2025).
“Jumlah total kasus dari Januari sampai Juni ada 46, terdiri dari 28 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 18 terhadap anak,” ungkap Fitria.
Baca juga: Tanggapi Penggeledahan Disperindag Maluku Utara, Sherly Laos: Biarkan APH Jalankan Tugasnya
Fitria merinci, kasus kekerasan terhadap perempuan meliputi perceraian, perselisihan harta gono-gini, KDRT, perselingkuhan, serta penelantaran istri dan anak.
Sementara kekerasan terhadap anak mencakup bullying, hak asuh, penelantaran, persetubuhan, dan pencabulan.
Menurut Fitria, faktor pemicu kasus tersebut antara lain berasal dari hubungan keluarga yang tidak sehat, serta kondisi sosial dan ekonomi yang sulit.
Ia menegaskan, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu mendapat perhatian khusus dari seluruh pihak, terutama orang tua di lingkungan keluarga.
Kasus Kekerasan di Maluku Utara per 2025 Capai 144
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Maluku Utara, Desy Masytah Turuy, mengungkapkan laporan kekerasan per tahun 2025.
Kata Desy, laporan kasus yang masuk dari kabupaten/kota masih didominasi pelecehan dan kekerasan seksual.
“Jenis kasus paling banyak tetap kekerasan seksual, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Dan ini bisa dibilang fenomena gunung es, karena yang terlapor hanya sebagian kecil saja."
"Banyak kasus yang tidak terlapor karena faktor malu, dianggap aib, atau tekanan sosial,” ujarnya di Sofifi, Selasa (18/8/2025).
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2-25 tercatat 144 kasus kekerasan,67 di antaranya kasus kekerasan.
Ia menuturkan, mayoritas korban adalah perempuan sebanyak 134 orang, sementara 63 korban berusia 13–17 tahun.
Menurut Desy, kesadaran masyarakat di kota besar seperti Ternate dan Tidore relatif lebih tinggi karena sudah mengenal lembaga pemberdayaan perempuan. Namun, di daerah lain, masih banyak korban yang memilih diam.
“Yang tidak melapor justru lebih banyak. Karena itu angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi dari data resmi,” katanya.
DP3A Malut bersama UPTD dan tenaga psikolog, kata Desy, terus memberikan layanan pendampingan, baik mental maupun sosial, agar para korban bisa bangkit kembali.
“Anak-anak korban ini ibarat sudah jatuh ke jurang. Untuk bangkit lagi butuh usaha besar, bukan hanya dari mereka, tapi juga dari kita semua. Karena kalau luka psikologis dibiarkan, bisa jadi trauma seumur hidup,” tutur Desy.
Ia mencontohkan, salah satu korban remaja yang mengalami kekerasan seksual bahkan sampai melahirkan. DP3A mendampingi proses persalinan hingga mencari keluarga alternatif yang menjamin masa depan bayi tersebut melalui prosedur resmi.
“Anak korban tetap harus mendapat haknya, termasuk tetap bersekolah. Kami sudah menempatkan beberapa korban di sekolah-sekolah yang mau menerima mereka, agar tidak terputus pendidikannya,” tambahnya.
Baca juga: Rakor Inflasi Kemendagri, Pemkot Tidore Laporkan Stabilitas Harga Bapok
Selain penanganan kasus, ia menuturkan bahwa pihaknya juga bekerjasama dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, serta lembaga terkait, untuk memastikan korban yang dirujuk ke luar daerah mendapat biaya transportasi, perawatan, hingga kebutuhan dasar.
Saat ini, tercatat hampir 40 pasien kasus kekerasan yang didampingi, sebagian sudah sembuh, namun ada juga yang meninggal dunia.
Desy berharap, masyarakat lebih berani melapor melalui mekanisme berjenjang, mulai dari pemerintah kabupaten/kota hingga ke provinsi.