Rencana Impor Beras 1 Juta Ton Tuai Kritikan dari Faisal Basri, Rizal Ramli, hingga Febri Diansyah
Para tokoh ekonomi hingga pegiat antikorupsi pun menyuarakan kritikan mereka terhadap rencana impor beras 1 juta ton melalui media sosial.
Belum lagi, saat ini petani tengah menyongsong masa panen raya (April-Mei).
Selain itu, harga gabah di tingkat petani juga semakin tertekan.
Sementara, harga beras selama satu tahun terakhir cenderung stabil.
Hal inilah yang membuat Rizal Ramli curiga dengan waktu pengadaan impor beras.
"Impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus (produksi lebih besar dari konsumsi) dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit (konsumsi lebih besar dari produksi)," tulisnya.
Faisal Basri juga menyoroti adanya "praktik pemburuan rente" yang dipicu besarnya selisih harga antara harga domestik dan harga internasional.
Sehingga, dalam kebijakan impor beragam komoditas strategis (beras, gula, garam, daging, dan bawang putih) lazim terjadi "bagi-bagi kuota impor."
Faisal Basri sejatinya optimis dengan produksi beras dalam negeri yang meningkat, sehingga tidak perlu dilakukan impor beras.
Sebab, di tengah pandemi Covid-19 sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif.
Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Selain itu, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Oleh karenanya, Faisal Basri meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk mengganti para menteri yang 'hobi' melakukan kebijakan impor.
Sebab, mereka dianggap hanya mementingkan sisi gampang dan praktisnya saja.
(TribunTernate.com/Rizki A.)