Perubahan Iklim
Akibat Krisis Iklim, Dunia Kini Hadapi Ancaman Gelombang Panas yang Tak Tertahankan
Jika tidak ada yang langkah yang dilakukan untuk memperlambat perubahan iklim, suhu tinggi dan gelombang panas mematikan hanya akan bertambah buruk.
TRIBUNTERNATE.COM - Saat ini, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi dua masalah yang harus mendapat perhatian segera dari dunia.
Dampak dari kedua hal itu juga mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Di kawasan Death Valley hingga wilayah Timur Tengah, anak benua India hingga sub-Sahara Afrika, pemanasan global telah membuat kehidupan sehari-hari semakin sulit bagi jutaan orang.
Jika tidak ada yang langkah berarti yang dilakukan untuk memperlambat perubahan iklim, suhu tinggi dan gelombang panas mematikan hanya akan bertambah buruk.
Hal ini telah diperingatkan oleh para ahli dunia.
"Iklim (perubahan) adalah semacam steroid untuk cuaca. Ini membuat hasil positif sulit didapat dengan menimbulkan peristiwa-peristiwa ekstrem semacam itu semakin sering terjadi," kata Zeke Hausfather, pakar iklim di Breakthrough Institute di California, Amerika Serikat, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia.

Baca juga: Disebut sebagai Ancaman Kesehatan Terbesar bagi Manusia, WHO Peringatkan Bahaya Perubahan Iklim
Baca juga: Darurat Iklim, Kebakaran Hutan Terjadi di Berbagai Wilayah di Dunia, dari Turki hingga California
Baca juga: Krisis Iklim, PBB Peringatkan Manusia Timbulkan Dampak yang Tak Dapat Diubah Lagi bagi Bumi
Tempat terpanas di dunia secara resmi adalah Death Valley, yang terletak di California. Di sana, suhu udara juga meningkat.
Peningkatan suhu hanya sebesar setengah derajat Celcius sudah bisa membuat perbedaan besar di Bumi yang semakin hangat.
"Jika kamu melihat suhu rata-rata di Death Valley selama bulan musim panas (...) itu tercatat jadi jauh lebih hangat dalam 20 tahun terakhir daripada sebelumnya," kata Abby Wines, juru bicara Taman Nasional Death Valley.
Selama musim panas ini, untuk tahun kedua berturut-turut, area tersebut mencatatkan suhu 54,4 derajat Celcius, dan ini adalah rekor suhu yang mencengangkan.
Jika dikonfirmasi oleh Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), itu akan menjadi suhu tertinggi yang pernah tercatat dengan instrumen modern.
BULAN TERPANAS PERNAH
Menurut badan iklim AS (National Oceanic and Atmospheric Administration) atau NOAA, Juli 2021 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat di Bumi.
"Kami sangat terpengaruh oleh suhu panas yang tak tertahankan ini, dan kami yang miskin terkena dampak paling parah," kata Kuldeep Kaur, seorang penduduk Sri Ganganagar di negara bagian Rajasthan, India utara, yang berbatasan dengan Pakistan.
Setengah dunia jauhnya di Kanada barat, ada fenomena yang disebut "kubah panas".
Fenomena ini memicu suhu udara berada di atas 40 derajat Celcius pada musim panas ini.
Seorang penduduk Vancouver utara, Rosa, pun mengeluh: "Ini tak tertahankan. Tidak mungkin kita pergi keluar rumah."
Meningkatnya suhu adalah faktor pendorong di balik kekeringan yang lebih sering dan intens, kebakaran hutan, badai, dan bahkan banjir.
Sementara, meningkatnya intensitas gelombang panas dapat menghancurkan pertanian dan bisa berakibat fatal bagi manusia.
"Satu kali banjir mungkin menyebabkan kematian yang tidak terlalu banyak, sekitar beberapa belas orang. Tapi saat ini kita berbicara tentang ribuan kematian setiap kali kita mengalami gelombang panas ekstrem yang sangat besar. Dan kita tahu bahwa gelombang panas saat ini berlipat ganda," kata ahli iklim Robert Vautard, kepala Pierre-Simon Laplace Institute di Prancis.
Jika temperatur Bumi meningkat sebesar dua derajat Celcius, seperempat populasi manusia dapat menghadapi gelombang panas yang parah setidaknya sekali setiap lima tahun, menurut rancangan laporan PBB yang diperoleh AFP jelang pembukaan KTT iklim COP26 pada 31 Oktober 2021 mendatang di Glasgow, Skotlandia.
Baca juga: Sama Bahayanya dengan Krisis Iklim, Polusi Suara yang Ditimbulkan Manusia Ancam Kehidupan di Laut
Baca juga: Bencana Alam akibat Perubahan Iklim akan Jadi Tema Utama Laporan Sains PBB

PERTANIAN TERANCAM
Bagi orang Badui di Arab Saudi, panas sudah tidak asing lagi.
"Menurut saya, saat ini (suhu udara, red) setidaknya 43 derajat Celcius, dan ini baru pukul 8.30-9.00," kata seorang Badui bernama Nayef al-Shammari.
Nayef juga menambahkan bahwa suhunya bisa mencapai 50 derajat pada siang hari.
"Tapi kami sudah terbiasa, itu normal bagi kami, kami tidak (...) khawatir tentang itu."
Keluarga pria berusia 51 tahun ini dan ayahnya Saad, 75, telah tinggal dan bekerja di gurun Al Nufud Al-Kabir sebagai peternak unta selama beberapa generasi.
Namun ketika suhu udara naik ke level yang dapat mengancam jiwa, mata pencaharian dan budaya mereka juga bisa langsung terancam.
"Bahkan hewan yang tahan panas di kawasan itu, misalnya unta atau kambing, juga akan terpengaruh, pertanian juga akan terpengaruh, jadi panas ekstrem ini akan memengaruhi produksi pangan," kata George Zittis dari Cyprus Institute di Nicosia.

KONSEKUENSI 'BENCANA'
Legenda mengatakan bahwa rawa-rawa subur yang berada di tepian sungai Tigris dan Efrat di Irak adalah rumah bagi Taman Eden, sebagaimana yang disebutkan oleh Kitab Kejadian.
Namun, tempat itu kini juga terancam.
"Suhu di atas 50 derajat memengaruhi ikan, memengaruhi hewan, manusia, dan pariwisata," kata pemilik perahu lokal Razak Jabbar, yang saat ini sedang mempertimbangkan untuk meninggalkan rawa tempat ia dibesarkan.
Dengan gelombang panas yang mematikan semakin menjadi fakta nyata bagi kehidupan di seluruh dunia, banyak yang menaruh harapan pada konferensi Glasgow.
"COP26 November ini harus menandai titik balik. Pada saat itu, kita membutuhkan semua negara untuk berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih atau net-zero emissions pada pertengahan abad ini, dan untuk menyajikan strategi jangka panjang yang jelas, kredibel, untuk mencapainya," kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Antonio Guterres.
Sumber: AFP via Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A.)