Aktivis Iklim dan Lingkungan Greta Thunberg Sebut COP26 Gagal, Seberapa Penting COP26 bagi Dunia?
Aktivis iklim dan lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, menyatakan bahwa KTT Iklim PBB di Glasgow gagal. Mengapa?
TRIBUNTERNATE.COM - Aktivis iklim dan lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg menyatakan bahwa KTT Iklim PBB di Glasgow gagal.
Tak hanya Greta Thunberg, beberapa ahli juga menyatakan hal serupa, mereka menilai bahwa pertemuan para pemimpin dunia itu hanya menghasilkan janji samar dalam mengurangi emisi.
"Bukan rahasia lagi bahwa COP26 gagal," kata Thunberg kepada ribuan pemuda yang menjadi demonstran di sebuah pawai di Kota Skotlandia.
Thunberg menyebut, pembicaraan COP26 sebagai perayaan bisnis seperti biasa selama dua minggu dan 'bla, bla, bla'.
"Ini bukan lagi konferensi iklim. Sekarang ini adalah festival pencucian hijau global," tutur Thunberg sambil bersorak pada kerumunan.
Sebelumnya, delegasi dari hampir 200 negara diketahui berkumpul di KTT COP26 untuk membahas rincian Perjanjian Paris 2015.
Baca juga: Kabar Luhut dan Erick Thohir Terlibat Bisnis PCR Bisa Berdampak Buruk pada Citra Pemerintahan Jokowi
Baca juga: Perubahan Iklim hingga Vaksin, Ini 5 Hal yang Dibahas Para Pemimpin Dunia dalam KTT G20 di Italia
Baca juga: Terungkap, Ini Sosok Dua Tersangka dalam Kasus Tewasnya Mahasiswa UNS Saat Mengikuti Diklatsar Menwa
Perjanjian tersebut bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global antara 1,5 hingga 2 derajat C melalui pengurangan emisi.
Pada minggu pertama, sejumlah negara menyatakan bahwa mereka akan menghentikan penggunaan batu bara dan mengakhiri pendanaan bahan bakar fosil asing.
Namun, mereka tidak menyebutkan detail tentang bagaimana mereka merencanakan dekarbonisasi massal, yang menurut para ilmuwan itu justru diperlukan.
"Mereka tidak bisa mengabaikan konsesnsus ilmiah dan mereka tidak bisa mengabaikan kita," kata Greta Thunberg seperti dikutip TribunTernate.com dari The Straits Times.
"Pemimpin kita tidak memimpin. Seperti inilah wajah kepemimpinan yang bisa kita lihat," lanjutnya sambil menunjuk orang banyak.
Apa Itu COP26?
Sejumlah pemimpin dunia menghadiri KTT yang membahas soal perubahan iklim, COP26, di Glasgow, Skotlandia, mulai 31 Oktober hingga 12 November.
COP26 sendiri merupakan konferensi yang berkaitan dengan iklim terbesar dan terpenting di planet ini, sebagaimana dilansir dari situs web PBB.
Pada 1992, PBB menyelenggarakan acara besar di Rio de Janeiro, Brasil, yang disebut Earth Summit.
Dalam acara tersebut, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) diadopsi.
Lewat UNFCCC, negara-negara sepakat untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk mencegah gangguan berbahaya dari aktivitas manusia pada sistem iklim.
Saat ini, perjanjian tersebut memiliki 197 penandatangan.
Sejak 1994, setiap tahun PBB telah mempertemukan hampir setiap negara di bumi untuk mengikuti KTT iklim global atau COP, yang merupakan singkatan dari Conference of the Parties.
Seharusnya, tahun 2021 menjadi COP global ke-27, tetapi karena pandemi Covid-19, pelaksanaan COP tertunda selama setahun.
Oleh karenanya, tahun ini digelar COP ke-26 dan disebut sebagai COP26.
Baca juga: Hadiri KTT G20 di Italia, Jokowi: Indonesia Ingin G20 Memberikan Contoh dalam Hadapi Perubahan Iklim
Baca juga: Akibat Krisis Iklim, Dunia Kini Hadapi Ancaman Gelombang Panas yang Tak Tertahankan
Baca juga: Krisis Iklim, PBB Peringatkan Manusia Timbulkan Dampak yang Tak Dapat Diubah Lagi bagi Bumi
Mengapa COP26 penting?
Berbagai “perpanjangan” UNFCCC telah dinegosiasikan selama COP untuk menetapkan batas produksi emisi gas rumah kaca untuk masing-masing negara yang mengikat secara hukum.
Beberapa “perpanjangan” tersebut seperti Protokol Kyoto pada 1997 yang menetapkan batas emisi untuk negara-negara maju yang harus dicapai pada 2012. Selain itu, ada Perjanjian Paris yang diadopsi pada 2015.
Dalam Perjanjian Paris, negara di dunia sepakat membatasi pemanasan global tidak melebihi 2 derajat Celsius, idealnya 1,5 derajat Celsius, serta meningkatkan pendanaan aksi iklim.
Dalam COP26, delegasi juga bertujuan menyelesaikan "Paris Rulebook" atau aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris.
Kali ini, mereka perlu menyepakati kerangka waktu umum untuk frekuensi revisi dan pemantauan komitmen iklim mereka.
COP26 kali ini kemudian menjadi kesempatan penting untuk mewujudkan aturan-aturan tersebut guna mencapai Perjanjian Paris.
Baca juga: Akibat Krisis Iklim, Dunia Kini Hadapi Ancaman Gelombang Panas yang Tak Tertahankan
Darurat perubahan iklim
Perubahan iklim telah berubah menjadi darurat global yang mengancam banyak jiwa dalam tiga dekade terakhir.
Meskipun ada komitmen baru yang dibuat oleh negara-negara menjelang COP26, beberapa peneliti memprediksi kenaikan suhu global akan naik 2,7 derajat Celsius pada abad ini.
Kenaikan suhu sebesar itu pada akhir abad ini akan menyebabkan kerusakan yang sangat masif di muka bumi dan mengakibatkan banyak bencana alam.
Sekjen PBB, Antonio Guterres, secara blak-blakan menyebutnya sebagai bencana iklim, yang sudah dirasakan hingga tingkat yang mematikan di bagian paling rentan di dunia.
Jutaan orang sudah mengungsi bahkan terbunuh oleh bencana yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Bagi Guterres, dan ratusan ilmuwan di Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), ambang batas 1,5 derajat Celsius adalah satu-satunya jalan untuk mencegah kerusakan lebih parah di muka bumi.
Waktu terus berputar, dan untuk membatasi kenaikan, dunia perlu mengurangi separuh emisi gas rumah kaca dalam delapan tahun ke depan.
Ini adalah tugas besar yang hanya dapat dilakukan jika para pemimpin yang menghadiri COP26 datang dengan rencana yang ambisius, terikat waktu, dan menghapus batu bara secara bertahap untuk mencapai nol emisi.
(TribunTernate.com/Ron)(Kompas.com/Danur Lambang P)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/ternate/foto/bank/originals/grettt3.jpg)