Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Virus Corona

WHO: Terlalu Dini untuk Mengklaim Dunia telah Menang Lawan Pandemi Covid-19

Direktur Jenderal WHO memperingatkan bahwa terlalu dini bagi negara-negara di dunia untuk menyatakan kemenangan atas Covid-19.

Instagram/drtedros
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan bahwa terlalu dini bagi negara-negara di dunia untuk menyatakan kemenangan atas pandemi Covid-19. 

TRIBUNTERNATE.COM - Pandemi virus corona penyebab penyakit Covid-19 telah berlangsung selama kurang lebih dua tahun.

Selama kurun waktu itu pula, segala upaya untuk memerangi pandemi Covid-19 dilakukan. Mulai dari penelitian, pengembangan vaksin dan obat, hingga pemberlakuan pembatasan untuk menekan laju penularan virus.

Namun, kurva pandemi Covid-19 di berbagai negara masih mengalami fluktuasi.

Meski demikian, sudah ada beberapa negara yang mulai melonggarkan pembatasan dan menyebut pandemi terkendali.

Hal ini pun mendapat sorotan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Pada Selasa (1/2/2022), Direktur Jenderal WHO memperingatkan bahwa terlalu dini bagi negara-negara di dunia untuk menyatakan kemenangan atas Covid-19 atau menghentikan upaya-upaya penekanan penularan.

"Masih terlalu dini bagi negara mana pun untuk menyerah atau menyatakan kemenangan," kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan, dikutip dari Straits Times.

"Virus ini berbahaya, dan terus berkembang di depan mata kita," lanjutnya.

Baca juga: Diperkirakan Lebih Menular, Sub-varian Omicron BA.2 telah Terdeteksi di 57 Negara

Baca juga: WHO: Omicron Bahaya bagi yang Belum Divaksinasi dan Bisa Timbulkan Varian Baru yang Lebih Ganas

Baca juga: Dirjen WHO: Dunia Bisa Mengakhiri Situasi Darurat Covid-19 di Tahun 2022, Ini Alasannya

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus di Jenewa, Swiss, Rabu (11/3/2020), menyampaikan penilaian bahwa virus corona jenis baru (COVID-19) sebagai pandemi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus di Jenewa, Swiss, Rabu (11/3/2020), menyampaikan penilaian bahwa virus corona jenis baru (COVID-19) sebagai pandemi. (AFP/FABRICE COFFRINI)

Pernyataan Tedros ini muncul ketika Denmark menjadi negara Uni Eropa pertama yang mencabut semua pembatasan Covid-19 domestiknya meskipun ada rekor jumlah kasus varian Omicron yang lebih ringan, Selasa lalu.

Kemudian, sejumlah negara lain mempertimbangkan langkah serupa.

"Kami prihatin bahwa narasi yang berlaku di beberapa negara menyebut, berkat vaksin dan karena penularan Omicron yang tinggi serta tingkat keparahan yang lebih rendah, upaya pencegahan penularan Covid-19 sudah tidak mungkin lagi [dilakukan, red.], dan tidak lagi diperlukan," kata Tedros.

"Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran daripada narasi itu," tambahnya, menekankan bahwa "lebih banyak penularan Covid-19 berarti akan ada pula lebih banyak kematian."

Sementara itu, Kepala Badan Kesehatan PBB menunjukkan bahwa sejak Omicron pertama kali terdeteksi di Afrika selatan 10 minggu lalu, hampir 90 juta kasus Covid-19 telah dilaporkan ke WHO, jumlah ini jauh lebih banyak daripada tahun 2020.

Dan sementara varian Covid-19 baru itu diketahui lebih ringan gejalanya, dia menekankan bahwa "kita sekarang mulai melihat adanya peningkatan kematian yang sangat mengkhawatirkan di sebagian besar wilayah dunia."

Baca juga: Pesawat Susi Air Dikeluarkan Paksa dari Hanggar Bandara Malinau, Ini Tanggapan Susi Pudjiastuti

Baca juga: Dirut Perumda Pasar Tangerang Mengundurkan Diri setelah Video Pamer Uang Viral

Baca juga: Tak Lagi Mirip Polisi, Seragam Baru Satpam Resmi Berubah Jadi Krem, Ini Alasan Polri Ubah Warna

Sejak Covid-19 pertama kali muncul di China pada akhir 2019, lebih dari 373 juta kasus yang dikonfirmasi dan hampir 5,7 juta kematian telah dilaporkan ke WHO.

Akan tetapi, jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.

Dan dalam seminggu terakhir, lebih dari 22 juta kasus Covid-19 dan lebih dari 60.000 kematian dilaporkan di seluruh dunia.

"Sekarang bukan waktunya untuk mengangkat semuanya sekaligus," Dr Maria Van Kerkhove memperingatkan.

Maria, yang memimpin tanggap pandemi WHO, merujuk pada "peningkatan tajam dalam angka kasus kematian" baru-baru ini dan tingkat vaksinasi yang rendah di banyak negara.

Kemudian, Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan mengakui bahwa di beberapa negara dengan sistem kesehatan yang kuat dan cakupan vaksinasi yang luas, memang rasanya sudah cukup masuk akal untuk mulai menghapus beberapa pembatasan.

Namun, dia memperingatkan bahwa "negara-negara yang membuat keputusan untuk membuka diri secara lebih luas juga perlu memastikan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memperkenalkan kembali langkah-langkah dengan penerimaan masyarakat dengan cepat jika diperlukan" - misalnya, jika jumlah kasus melonjak atau varian baru yang lebih berbahaya muncul.

"Kalau buka pintunya cepat, (harusnya) juga bisa menutupnya dengan sangat cepat juga," katanya.

Dia juga menyayangkan negara-negara tanpa cakupan vaksin tingkat tinggi atau infrastruktur kesehatan kuat yang justru "secara membabi buta" tunduk pada tekanan politik untuk mulai mencabut pembatasan.

"Ketakutan terbesar saya saat ini adalah bahwa negara-negara akan memiliki sindrom lemming dan akan membuka diri hanya karena negara tetangga mereka sudah terbuka," katanya kepada wartawan.

Menyerah pada tekanan semacam itu, dia memperingatkan, akan menimbulkan risiko penularan yang tidak perlu, gejala penyakit yang parah, dan yang terburuk, kematian.

Kemudian, Tedros menekankan perlunya untuk terus melacak varian-varian virus corona yang muncul, termasuk sub-garis keturunan Omicron BA.2.

"Virus ini akan terus berkembang, itulah sebabnya kami meminta negara-negara di dunia untuk melanjutkan pengujian, pengawasan, dan pengurutan virus," katanya.

"Kita tidak bisa melawan virus ini jika kita tidak tahu apa yang dilakukannya," tambah Tedros.

Sumber: Stratis Times

(TribunTernate.com/Rizki A.)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved