Konflik Rusia vs Ukraina
Amerika Serikat Peringatkan China untuk Tidak Beri Bantuan kepada Rusia
Amerika Serikat memperingatkan China agar tidak memberikan bantuan militer atau keuangan kepada Moskow setelah invasinya ke Ukraina.
TRIBUNTERNATE.COM - Memasuki pekan ketiga, konflik antara Rusia vs Ukraina masih kian memanas.
Dunia internasional turut menyoroti 'operasi militer khusus' yang diluncurkan Presiden Rusia Vladimir Putin ke wilayah timur Ukraina pada Kamis (24/2/2022) lalu itu.
Kini, Amerika Serikat memperingatkan China agar tidak memberikan bantuan militer atau keuangan kepada Moskow setelah invasinya ke Ukraina, dikutip dari Channel News Asia.
Sementara itu, sanksi terhadap para pemimpin politik dan bisnis Rusia kian meningkat, dan warga sipil berusaha melarikan diri dari arena pertempuran.
Negosiator Ukraina dan Rusia diharapkan akan melakukan pembicaraan lebih lanjut untuk meredakan krisis diharapkan pada Selasa (15/3/2022)
Sebelumnya, pembicaraan yang digelar pada Senin (14/3/2022) melalui video berakhir tanpa ada kemajuan baru.

Baca juga: Meninggal di Tempat, Jurnalis Harian AS New York Times Tewas Tertembak di Ukraina
Baca juga: Presiden Ukraina Sebut Kyiv Hanya Bisa Direbut dengan Cara Membunuh Semua Orang, Tantang Rusia?
Baca juga: Rusia Tuding Ada Operasi Senjata Biologis di Ukraina, PBB Sebut Tidak Ada Buktinya
Dua ledakan kuat telah mengguncang ibu kota Kyiv sebelum fajar, dan sirene serangan udara terdengar di berbagai wilayah termasuk Odessa, Chernihiv, Cherkasy, dan Smila.
Ribuan orang tewas dalam pertempuran sengit dan pengeboman di sejumlah wilayah sejak invasi Rusia diluncurkan pada pekan keempat Februari 2022 lalu.
Menurut klaim Rusia, 'operasi militer khusus' yang dilakukannya bertujuan untuk "denazifikasi" negara dan mencegah genosida.
Klaim ini pun ditolak Amerika Serikat dan sekutunya, dan disebut sebagai dalih untuk serangan yang tidak dapat dibenarkan dan ilegal.
Menurut pejabat AS, Rusia telah meminta dukungan militer dan ekonomi dari Beijing, yang juga sudah memberi sinyal kesediaan untuk memberikan bantuan.
Namun, hal tersebut disangkal oleh pihak Moskow.
Moskow mengatakan bahwa pihaknya memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi semua tujuannya.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri China menyebut laporan permintaan bantuan itu sebagai "disinformasi".
"Kami telah berkomunikasi dengan sangat jelas kepada Beijing bahwa kami tidak akan berdiam diri," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price kepada wartawan, setelah penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan bertemu diplomat top China, Yang Jiechi di Roma.
"Kami tidak akan mengizinkan negara mana pun untuk memberi kompensasi kepada Rusia atas kerugiannya."
Pertemuan selama tujuh jam itu "intens" dan mencerminkan "gravitasi saat ini," menurut seorang pejabat AS.
PROTES "ANTI-PERANG" DI RUSIA
Di Rusia, protes anti-perang yang jarang telah terjadi di sebuah studio selama program berita utama di Channel One TV pemerintah, sumber berita utama bagi jutaan orang Rusia dan mengikuti garis Kremlin.
Seorang wanita mengacungkan tanda dalam bahasa Inggris dan Rusia yang mengatakan: "NO WAR. Hentikan perang. Jangan percaya propaganda. Mereka berbohong padamu di sini."
Baca juga: Kisah Warga Ukraina yang Bawa Hewan Peliharaan Saat Mengungsi: Kami Tak Bisa Tinggalkan Mereka
Baca juga: Takut Dibom Rusia, WHO Minta Ukraina Hancurkan Patogen di Laboratoriumnya, Bisa Sebabkan Virus Baru

Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan, Rusia mungkin berencana untuk menggunakan senjata kimia atau biologi di Ukraina sebagai respon atas serangan palsu yang dilakukan terhadap pasukan Rusia, tanpa mengutip bukti.
Kemudian, para pejabat AS telah membuat pernyataan serupa.
Rusia menuding Ukraina berencana menggunakan senjata biologis.
Namun pada Jumat (11/3/2022) lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan tidak memiliki bukti bahwa Kyiv memiliki program semacam itu.
Pada Senin, Moskow mengizinkan konvoi pertama melarikan diri dari Mariupol, lokasi krisis kemanusiaan terburuk dalam konflik tersebut.
"Dalam dua jam pertama, 160 mobil tersisa," kata Andrei Rempel, perwakilan dewan kota Mariupol kepada Reuters.
Pihak berwenang setempat mengatakan, sejauh ini ada antara 2.300 hingga 20.000 warga sipil yang diperkirakan tewas dalam penembakan Rusia di kota itu, jumlah korban yang tidak dapat dikonfirmasi secara independen.
PBB mengatakan lebih dari 2,8 juta orang telah meninggalkan Ukraina sejak dimulainya perang.
"Saya melarikan diri dengan anak saya karena saya ingin anak saya tetap hidup," kata seorang wanita Ukraina bernama Tanya yang mengatakan dia melakukan perjalanan dari kota Mykolaiv di Ukraina selatan melintasi sungai Danube ke Rumania.
"Karena orang-orang yang ada di sana sekarang adalah orang Rusia, tentara Rusia, dan mereka membunuh anak-anak."
Sementara itu, Rusia mengatakan tidak menargetkan warga sipil.
SANKSI LEBIH LANJUT
Negara-negara anggota Uni Eropa (UE) telah menyetujui paket sanksi keempat terhadap Rusia, menurut Prancis, Senin kemarin.
Rinciannya memang tidak diungkapkan secara resmi, tetapi sumber-sumber diplomatik mengatakan mereka akan memasukkan larangan impor baja dan besi Rusia, larangan ekspor barang-barang mewah, dan larangan investasi di sektor energi.
Pemilik tim sepak bola Chelsea Roman Abramovich dan 14 lainnya akan ditambahkan ke daftar hitam UE, kata sumber tersebut.
Kemudian, pada Selasa, Jepang mengumumkan pembekuan aset untuk 17 orang Rusia, termasuk 11 anggota Duma Rusia, atau parlemen, lima anggota keluarga bankir Yuri Kovalchuk, serta miliarder Viktor Vekselberg.
Sanksi yang dipimpin negara Barat telah memutuskan Rusia dari bagian-bagian penting pasar keuangan global dan membekukan hampir setengah dari cadangan emas dan valuta asing negara itu senilai $640 miliar dolar AS.
Sanksi ini jelas memicu krisis ekonomi terburuk di Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
Kementerian keuangan Rusia mengatakan, sedang bersiap untuk melunasi sebagian utang mata uang asingnya pada Rabu, tetapi pembayaran tersebut akan dilakukan dalam rubel jika sanksi memaksa bank untuk membayar utang dalam mata uang yang diterbitkan.
Sumber: Reuters/ec via Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A)