DPR Minta Menkes Turun Tangan soal Pemecatan Terawan, Singgung soal Kekurangan Dokter Spesialis
Menurut anggota Komisi IX DPR RI, kejadian pemecatan Dokter Terawan ini dapat merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, penggunaan DSA sebagai alat terapi stroke perlu dibuktikan terlebih dahulu secara ilmiah.
Mantan Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG, juga sependapat.
Kepada wartawan pada 2018, dia mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.
Menurut Marsis, metode dan teknik pengobatan yang diterapkan Terawan telah teruji secara akademis ketika ia memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran.
Namun, metode tersebut tetap harus diuji secara klinis dan praktis untuk bisa diterapkan kepada masyarakat luas.
Baca juga: Prabowo Disuntik Booster oleh Terawan Agus Putranto dengan Vaksin Nusantara
Baca juga: Terawan Klaim Vaksin Nusantara Bisa Lawan Omicron dan Siap Dijadikan Booster
2. Vaksin Nusantara
Terawan juga menggagas Vaksin Nusantara yang menuai polemik panjang.
Banyak pihak termasuk ahli biologi molekuler Indonesia Ahmad Utomo, Doktor Bidang Biokimia dan Biologi Molekuler Ines Atmosukarto, epidemiolog Pandu Riono hingga Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban yang mengkritik vaksin ini, khususnya terkait perkembangannya.
Begitu juga dengan Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menilai pengembangan vaksin nusantara tak sesuai kaidah ilmiah dan medis, serta memiliki banyak kejanggalan dalam proses penelitiannya, sehingga vaksin ini dinyatakan tidak lulus uji klinis fase I.
Polemik ini pun diakhiri dengan penandatanganan nota kesepahaman penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dedrintik, Senin (19/4/2021).
Dengan demikian, uji klinik vaksin nusantara dimasukkan dalam penelitian berbasis pelayanan.
Vaksin nusantara yang berbasis pada sel dendritik juga dinyatakan bersifat autologus sehingga hanya dapat dipergunakan untuk diri pasien sendiri dan tidak dapat dikomersialkan.
Peraturan radiologi
Dituliskan Kompas.com, 8 Oktober 2020, warganet ramai membicarakan mengenai dokter obgyn dan dokter umum yang tidak diperbolehkan melakukan ultrasonography (USG).
Hal tersebut terkait dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik.