Kagum Lihat Rusia Bertahan dari Sanksi Ekonomi Negara Barat, China Buka Kemungkinan Invasi ke Taiwan
Sejumlah pejabat China mengungkapkan, Presiden Xi Jinping sedang mencari cara untuk bertahan dari serangan sanksi Barat karena terinspirasi Rusia.
TRIBUNTERNATE.COM - Sejumlah pejabat China mengungkapkan bahwa Presiden Xi Jinping sedang mencari cara untuk bertahan dari serangan sanksi Barat.
Diduga, hal ini dilakukan oleh Presiden Xi Jinping untuk bersiap apabila nanti negara mereka melakukan invasi ke Taiwan.
Diketahui, pemikiran itu datang saat Xi Jinping melihat bahwa Rusia mampu bertahan dari sanksi ekonomi yang diberikan Barat saat negara pimpinan Vladimir Putin itu menyerang Ukraina.
Apa yang dilakukan China tersebut lantas menimbulkan kekhawatiran bahwa negara itu kini sedang mempersiapkan invasi ke Taiwan.
Pada 22 April, regulator China telah mengadakan pertemuan darurat antara pejabat dari Bank Sentral China, Kementerian Keuangan, bank domestik yang beroperasi di China, dan pemberi pinjaman internasional seperti HSBC.
Sanksi ekonomi Barat yang keras terhadap Rusia mendorong pertemuan darurat, di mana Kemenkeu China menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Xi Jinping telah disiagakan oleh pembekuan dolar yang mengejutkan.
Berita itu muncul saat Inggris dan AS mengadakan pembicaraan tingkat atas soal bagaimana mengelola krisis di Asia, jika China menyerang Taiwan.
Sebagai informasi, China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya meskipun negara kepulauan itu berada di bawah pemerintahan terpisah sejak 1949.
Baca juga: Rusia Peringatkan Dunia soal Risiko Perang Nuklir dalam Konflik Rusia vs Ukraina: Bahayanya Serius
Baca juga: Korea Utara Menentang Perang, tetapi Bakal Hantam Korea Selatan dengan Senjata Nuklir Jika Diserang
"Tak seorang pun di lokasi dapat memikirkan solusi yang baik untuk masalah ini," kata seorang sumber seperti dikutip WartakotaLive.com dari Financial Times.
"Sistem perbankan China tidak siap untuk pembekuan aset dolar atau pengecualian dari sistem pesan Swift seperti yang telah dilakukan AS ke Rusia," katanya.
China sedang mencari langkah untuk memperluas jumlah mata uang Renminbi yang beredar relatif terhadap kepemilikan dolar AS.
Salah satu idenya adalah memaksa perusahaan pengekspor China untuk membuang kepemilikan dolar mereka dengan imbalan Renminbi.
Saran lainnya adalah untuk memotong kuota $50.000 yang boleh dibeli oleh warga negara China setiap tahun, untuk perjalanan ke luar negeri, pendidikan, dan pembelian luar negeri lainnya.
Solusi potensial lainnya seperti membanjiri beberapa kepemilikan dolar AS untuk Euro dianggap tidak dianggap praktis.
Tetapi, sejumlah pihak meragukan AS akan memiliki kapasitas untuk memberikan sanksi kepada China yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Rusia.
"Sulit bagi AS untuk menjatuhkan sanksi besar-besaran terhadap China. Ini seperti kehancuran yang dijamin bersama dalam perang nuklir," kata Andrew Collier, Direktur Pelaksana Orient Capital Research di Hong Kong.

Meskipun bisnis China telah menahan diri untuk tidak terang-terangan melakukan bisnis dengan rezim Vladimir Putin sejak Putin memberikan perintah untuk menyerang Ukraina. Presiden Xi Jinping dilaporkan telah mempertahankan beberapa hubungan ekonomi dengan Rusia.
Koordinator Indo-Pasifik Gedung Putih Kurt Campbell dan Laura Rosenberger, pejabat tinggi Dewan Keamanan Nasional China, mengadakan pertemuan di Taiwan dengan perwakilan Inggris pada awal Maret.
AS ingin meningkatkan kerja sama dengan sekutu Eropa, serta terlibat dengan Jepang dan Australia setelah Beijing meningkatkan aktivitas militer. China terus melanggar wilayah udara Taiwan, meningkatkan penyebarannya selama setahun terakhir.
"Mencegah agresi China terhadap Taiwan adalah kepentingan semua orang. Ini bukan hanya masalah Indo-Pasifik, ini adalah masalah global," kata Heino Klinck, mantan pejabat tinggi Pentagon Asia.
"Perencana militer AS tidak mengandalkan Jerman atau Prancis yang mengirim kapal perang, atau Inggris mengirim kapal induk jika terjadi konflik di Taiwan. Tetapi ketika negara-negara itu mengirim kapal ke Laut Cina Selatan, atau transit di Selat Taiwan, itu mengirimkan sinyal yang kuat ke Cina," ujarnya.
Baca juga: China Laporkan Kasus Flu Burung H3N8 Pertama pada Manusia, Akankah Jadi Pandemi Selanjutnya?
Baca juga: Belum Usai Perang Rusia vs Ukraina, Konflik Korea Utara-Korea Selatan Mulai Memanas
Penyebab China Kerap Bersitegang dengan Taiwan
China dan Taiwan telah lama berselisih mengenai kedaulatan pulau tersebut. China selalu menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, lebih tepatnya sebuah provinsi. Namun, banyak orang Taiwan menginginkan pulau itu merdeka.
Dari 1683 hingga 1895, Taiwan diperintah oleh Dinasti Qing Tiongkok. Setelah Jepang mengklaim kemenangannya dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama, Pemerintah Qing terpaksa menyerahkan Taiwan ke Jepang.
Pulau itu kemudian berada di bawah kekuasaan Republik China setelah Perang Dunia II, dengan persetujuan sekutunya AS dan Inggris.
Pemimpin Partai Nasionalis China, Chiang Kai-shek, melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949 dan mendirikan pemerintahannya setelah kalah Perang Saudara dari Partai Komunis dan pemimpinnya Mao Zedong.
Putra Chiang terus memerintah Taiwan setelah ayahnya dan mulai mendemokrasikan Taiwan.
Pada tahun 1980, Cina mengajukan formula yang disebut 'satu negara, dua sistem', di mana Taiwan akan diberikan otonomi yang signifikan jika menerima reunifikasi Cina. Tetapi, Taiwan menolak tawaran itu.
Taiwan hari ini, dengan konstitusinya sendiri dan para pemimpin yang dipilih secara demokratis, diterima secara luas di Barat sebagai negara merdeka. Namun, status politiknya masih belum jelas.
China masih menganggap Taiwan adalah bagian negaranya.
Aartikel ini telah tayang di WartakotaLive dengan judul Terinspirasi Rusia, China Pertimbangkan Invasi Taiwan