Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Kasus Pelanggaran HAM Berat

Pengakuan Pelanggaran HAM Berat dalam 12 Peristiwa Masa Lalu, Amnesty: Itu Masih Jauh dari Cukup

Amnesty: Diakuinya pelanggaran HAM berat di masa lalu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum.

Kompas.com/YOGA SUKMANA
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Foto diambil di Jakarta, Rabu (22/2/2018). 

Jika Presiden benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, kata dia, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun itu terjadi.

Selain itu jika ada cukup bukti yang dapat diterima, maka harus menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana.

"Tidak bisa hanya mengatakan tidak cukup bukti. Sebab selama ini lembaga yang berwenang dan berada di bawah langsung wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan," kata Usman.

Untuk itu, Amnesty mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya.

"Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan," sambung dia.

Baca juga: Putri Candrawathi Takut Tak Dicintai Ferdy Sambo Lagi setelah Ngaku Dilecehkan Brigarid J

Baca juga: Motif 2 Remaja Culik dan Bunuh Bocah SD di Makassar: Jual Organ Korban agar Cepat Kaya

12 Pelanggaran HAM Berat yang Diakui Jokowi

Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. 

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).

“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.

Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut. 

Peristiwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM Berat diantaranya yakni:

1) Peristiwa 1965-1966,
2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,
3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,
4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,
5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,
7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,
8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,
9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,
10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,
11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan
12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Presiden menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban peristiwa tersebut.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Amnesty: Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tanpa Upaya Mengadili, Menambah Garam Pada Luka

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved