Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Lipsus Royalti Musik

Royalti Musik Dinilai Memberatkan, Pengusaha Kafe di Ternate Minta Penjelasan Pemerintah

Rencana pemerintah memberlakukan pungutan royalti atas pemutaran musik di tempat usaha seperti kafe dan restoran mulai menimbulkan kekhawatiran

Penulis: Sansul Sardi | Editor: Sitti Muthmainnah
TribunTernate.com/Sansul Sardi
ROYALTI - Kedai Kanan Ternate, Maluku Utara. Owner Kanan, Beks, menanggapi soal kebijakan royalti musik, Rabu (20/8/2025). 

TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE – Rencana pemerintah memberlakukan pungutan royalti atas pemutaran musik di tempat usaha seperti kafe dan restoran mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku UMKM, termasuk di Ternate, Maluku Utara.

Abdu Sandi, pemilik Kafe Kanan di kawasan Ternate, secara terbuka menyampaikan kebingungannya terhadap kebijakan tersebut.

Menurutnya, informasi yang beredar masih sangat minim dan tidak menjelaskan secara rinci mengenai skema pembayaran maupun klasifikasi yang dikenai pungutan.

Baca juga: Lomba Lari 5 dan 10 Kilometer di Tidore, Ismail: Masih dalam Kemeriahan HUT ke 80 RI

“Sejujurnya, kami belum terlalu paham bagaimana aturan soal royalti ini. Kalau misalnya diterapkan, tentu akan membingungkan. Apakah bayar per bulan? Bayarnya bagaimana? Itu belum jelas,” kata Abdu saat ditemui, Rabu (20/8/2025).

Musik Jadi Identitas Kafe

Abdu menekankan, bagi pelaku usaha seperti dirinya, musik bukan hanya sekadar hiburan, tetapi bagian dari identitas dan strategi bisnis.

Ia menjelaskan bahwa atmosfer sebuah kafe bukan hanya dibentuk oleh desain interior atau sajian kopi, tetapi juga oleh musik yang dimainkan.

“Orang datang ke kedai bukan hanya untuk ngopi, tapi juga menikmati suasana. Musik itu bagian dari kenyamanan, bahkan jadi ciri khas masing-masing kafe,” jelasnya.

Dalam praktiknya, banyak kafe di Ternate memutar playlist dari layanan streaming berbayar atau mengunduh lagu-lagu untuk membangun suasana tertentu.

Namun, wacana penarikan royalti ini menimbulkan pertanyaan baru, khususnya terkait kategori musik yang akan dikenai biaya.

“Kami dengar-dengar, bukan cuma lagu, bahkan suara-suara tertentu yang direkam juga bisa kena royalti. Kalau sampai suara burung yang diputar dari playlist harus bayar juga, itu agak kurang masuk akal. Kecuali burungnya hidup,” ujar Abdu sembari tersenyum.

Siap Patuh, Tapi Minta Sosialisasi

Meski secara pribadi menolak rencana tersebut karena dinilai memberatkan pelaku usaha kecil, Abdu menyatakan tetap akan mengikuti aturan jika sudah resmi diberlakukan.

“Kalau sudah jadi aturan, ya sebagai warga negara pasti kami ikut. Tapi sebaiknya, pemerintah duduk bersama dulu dengan pelaku usaha, khususnya UMKM, agar tidak menimbulkan kegelisahan. Harus ada penjelasan yang komprehensif, jangan tiba-tiba diberlakukan,” katanya.

Abdu juga mengingatkan bahwa sebagian besar pelaku usaha kafe di Ternate masih berada dalam kategori mikro dan kecil. Tambahan beban operasional, termasuk royalti musik, dikhawatirkan bisa menurunkan daya tahan usaha mereka.

“Modal kami terbatas. Sekarang ini saja harga bahan baku naik terus. Kalau ditambah pungutan lain, kami khawatir banyak usaha kecil akan tumbang perlahan,” ujarnya.

Menurutnya, musik seharusnya dipahami bukan hanya sebagai karya intelektual yang wajib dibayar, tetapi juga sebagai elemen penggerak ekonomi kecil.

Di kafe, musik berperan memperpanjang waktu kunjungan pelanggan, memperbaiki suasana, dan mendorong daya beli.

Baca juga: 56 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Ternate, DP3A: Ini Harus Jadi Perhatian Serius

“Musik bagi kami bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari strategi bertahan hidup. Harapannya, aturan ini dikaji lebih dalam sebelum diberlakukan,” tutup Abdu.

Sebagai informasi, wacana penarikan royalti atas musik di tempat umum merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyatakan bahwa penggunaan komersial atas karya cipta, termasuk musik, memerlukan izin dan membayar royalti kepada pemilik hak.

Pelaksanaannya dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), namun hingga kini, mekanisme pelaporan, penghitungan royalti, dan pengawasan implementasinya masih menjadi sorotan publik. (*)

Sumber: Tribun Ternate
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved