Terkini Internasional
Turki Keluar dari Perjanjian Internasional Melawan Kekerasan terhadap Perempuan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk keluar dari perjanjian pertama di dunia untuk mencegah dan memerangi kekerasan terhadap perempuan
"Kami sangat frustrasi. Setiap hari seorang wanita yang kami kenal atau tidak kenal dibunuh. Tidak ada jaminan bahwa kami tidak akan mengalami perlakuan yang sama besok," kata Nevin Tatar (35) selama demonstrasi di Istanbul.
Para pengunjuk rasa termasuk beberapa yang membawa bendera motif warna pelangi, meneriakkan sebelumnya: "Kami tidak akan diam, kami tidak takut, kami tidak akan patuh!"
Baca juga: Covid-19 Varian Delta Merebak, Presiden Filipina Duterte Ancam Penjarakan Warga yang Enggan Divaksin
Baca juga: Jusuf Kalla Soroti Penutupan Tempat Ibadah dalam Aturan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021
Baca juga: BPOM Terbitkan Otorisasi Penggunaan Darurat untuk Vaksin Covid-19 Moderna
JANJI PRESIDEN
Pada Kamis, Erdogan menegaskan bahwa komitmen Turki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan tidak akan terguncang karena keputusannya ini.
"Karena perang melawan kekerasan terhadap perempuan tidak dimulai dengan perjanjian ini, maka komitmen kami tidak akan berakhir karena kami menarik diri [dari perjanjian tersebut]," katanya.
Erdogan berbicara di sebuah acara di istana kepresidenan di Ankara untuk rencana aksi nasional dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Namun, Erdogan mengatakan "perjuangan itu tentang melindungi kehormatan ... para ibu dan anak perempuan."
Pada 2016, Erdogan melontarkan komentar yang cenderung membuat marah para wanita Turki, yakni merekomendasikan para wanita untuk memiliki tiga anak.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa [kodrat] seorang wanita "tidak sempurna" jika dia tidak memiliki anak.
MENYENANGKAN KAUM KONSERVATIF
Ajudan pers utama Presiden Recep Tayyip Erdogan, Fahrettin Altun, melontarkan pembenaran terkait keputusan Turki mundur dari Konvensi Istanbul pada Maret 2021 lalu.
Fahrettin mengatakan, referensi perjanjian untuk pelanggaran berbasis gender telah "dibajak oleh orang-orang yang mencoba untuk menormalisasikan homoseksualitas."
Menurut Fahrettin, gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (LGBTQ) "tidak sesuai" dengan nilai maupun norma sosial dan keluarga Turki.
Sementara itu, gelombang protes yang dipimpin mahasiswa yang mendukung hak-hak yang lebih luas digelar di sejumlah kota besar di Turki pada awal 2021 lalu.
Diketahui, homoseksualitas telah dilegalkan di Turki sejak era Kekaisaran Ottoman.
Baca juga: PPKM Darurat Berlaku 3-20 Juli 2021, Ini Daftar Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali yang Menerapkannya
Baca juga: Gelombang Panas di Kanada dan AS: Ratusan Orang Meninggal Dunia, Risiko Kebakaran Hutan Meningkat