Virus Corona
Omicron Merebak, WHO Peringatkan Negara Kaya untuk Tidak Menimbun Vaksin Covid-19 buat Booster
WHO memperingatkan negara-negara kaya agar tidak menimbun vaksin Covid-19 untuk booster dalam menghadapi virus corona varian baru Omicron.
TRIBUNTERNATE.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan negara-negara kaya agar tidak menimbun vaksin Covid-19 untuk booster dalam menghadapi virus corona varian baru Omicron.
Sebab, penimbunan vaksin Covid-19 untuk booster dapat mengancam pasokan ke negara-negara miskin di mana tingkat inokulasi rendah.
Peringatan ini disampaikan oleh WHO, Kamis (9/12/2021), sebagaimana dikutip dari Channel News Asia.
Diketahui, saat ini banyak negara Barat yang telah meluncurkan vaksin booster dengan target utama warga kategori lanjut usia dan mereka yang memiliki masalah kesehatan mendasar.
Namun, kekhawatiran tentang begitu cepat merebaknya varian Omicron semakin mendorong negara-negara kaya untuk memperluas program vaksinasi booster.
Sementara itu, WHO merekomendasikan booster hanya bagi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan, atau mereka yang mendapatkan suntikan yang tidak aktif.
Baca juga: Hasil Penelitian Tunjukkan Tiga Dosis Vaksin Pfizer Ampuh Netralkan Varian Omicron
Baca juga: Di Hadapan Joko Widodo, Komnas HAM Minta Dilibatkan dalam Perbaikan UU Cipta Kerja
Saat ini, masih belum diketahui secara pasti tentang seberapa efektif vaksin yang ada terhadap Omicron.
Vaksin memang sejauh ini terbukti sangat berhasil dalam memperlambat penyebaran virus corona dan mengurangi tingkat keparahan penyakit.
Di sisi lain, tingkat vaksinasi yang rendah jelas menimbulkan risiko munculnya varian yang lebih berbahaya dan lebih kebal vaksin.
"Saat kita menghadapi situasi Omicron apa pun yang akan terjadi, ada risiko bahwa pasokan vaksin global akan kembali lagi ke negara-negara berpenghasilan tinggi yang menimbun vaksin," kata direktur vaksin WHO, Kate O'Brien, dalam sebuah pengarahan.
"... Itu tidak akan berhasil. Ini tidak akan berhasil dari perspektif epidemiologis dan itu tidak akan berhasil dari perspektif penularan, kecuali kita benar-benar menyediakan vaksin untuk semua negara," lanjutnya.
Direktur kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan, varian Omicron tampak "lebih bugar dan lebih cepat", tetapi tidak berarti tidak bisa ditaklukkan.
"Kita memang belum sepenuhnya memahami implikasinya secara klinis atau implikasinya bagi vaksin kami ... Apa yang kita lakukan dalam beberapa hari dan pekan mendatang, baik dalam hal penekanan virus, vaksinasi, dan kesetaraan akan membuat perbedaan besar pada evolusi pandemi ini. pada 2022,” katanya.
Baca juga: Jerome Polin Ungkap Jasa Raffi Ahmad dalam Kariernya, Sebut Suami Nagita Slavina Mengubah Hidupnya
Baca juga: Ajak Masyarakat Bersama-sama Lawan Korupsi, Ini Pesan Novel Baswedan di Hari Antikorupsi Sedunia
Baca juga: Dinilai Keji & Sadis, Ketua Komisi VIII DPR Minta Pemerkosa 12 Santriwati di Bandung Dihukum Kebiri
Omicron pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan.
Sementara, Hong Kong dan Afrika menyumbang 46 persen dari total kasus Omicron yang dilaporkan secara global, kata oordinator Program Pengembangan Imunisasi dan Vaksin WHO untuk Afrika, Richard Mihigo, dalam sebuah briefing online.
Data awal rumah sakit dari Afrika Selatan menunjukkan kurang dari sepertiga pasien yang dirawat selama gelombang terakhir terkait dengan Omicron menderita penyakit parah, dibandingkan dengan dua pertiga pada tahap awal dari dua gelombang terakhir.
Hanya 7,5 persen dari lebih dari satu miliar orang di Afrika telah mendapatkan vaksin primer.
UMUR SIMPAN VAKSIN YANG SINGKAT
Pasokan untuk program berbagi vaksin COVAX global yang dijalankan oleh WHO dan badan amal GAVI telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir karena sumbangan dari negara-negara kaya dan setelah India melonggarkan batasan ekspor vaksin.
Namun, tak berapa lama, WHO melalui Kate O'Brien mengeluarkan peringatan terhadap negara-negara kaya ini.
Menurut Kate O'Brien, masalah utama bagi COVAX adalah negara-negara kaya menyumbangkan vaksin dengan umur simpan yang relatif singkat.
Kata WHO, dalam beberapa bulan terakhir, pemberian dosis vaksin primer harus menjadi prioritas dan panel penasihat vaksinnya merekomendasikan pada Kamis lalu, bahwa orang-orang yang kekebalannya terganggu atau menerima vaksin yang tidak aktif harus menerima booster.
Infeksi virus corona telah dilaporkan di lebih dari 210 negara dan wilayah sejak kasus pertama diidentifikasi di China bagian tengah dua tahun lalu.
Lebih dari 267,28 juta orang telah terinfeksi Covid-19 dan hampir 5,6 juta orang meninggal dunia, menurut penghitungan Reuters.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target vaksinasi dan bahwa Omicron menggambarkan "situasi berbahaya" di dunia.
Inggris saat ini pun tengah berjuang untuk menerapkan pembatasan yang lebih ketat guna memperlambat penyebaran Omicron, apalagi terungkap adanya dugaan pesta lockdown di kediaman Perdana Menteri Boris Johnson yang berikutnya memicu protes atas kemunafikan.
Boris Johnson pun meminta maaf di parlemen atas video yang menunjukkan staf menertawakan sebuah pesta di Downing Street selama lockdown Covid-19 pada Natal 2020 ketika perayaan semacam itu masih dilarang.
Pasar saham dunia terhenti di level tertinggi dalam dua minggu pada Kamis kemarin, karena meningkatnya pembatasan di beberapa bagian dunia untuk menahan penyebaran Omicron.
Pada Kamis kemarin pula, Kepala Pusat Pengendalian Penyakit Afrika, John Nkengasong mengatakan bahwa Serum Institute of India (SII), pembuat vaksin terbesar di dunia, telah mengecewakan Afrika dengan menarik diri dari diskusi tentang upaya memasok vaksin.
Hingga artikel sumber ini diturunkan, SII juga belum menanggapi permintaan komentar dari pewarta.
Sementara itu, Slovakia, dengan populasi penduduk 5,5 juta jiwa, dihantam oleh gelombang pandemi terbaru, dan harus menerapkan lockdown dan kapasitas rumah sakit sudah penuh.
Negara ini pun punya cara baru untuk meningkatkan vaksinasi yang rendah, yakni dengan memberikan bantuan berupa uang tunai senilai hingga 340 dolar AS kepada orang-orang yang berusia di atas 60 tahun yang bersedia divaksin.
Sumber: Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A.)