Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Kagum Lihat Rusia Bertahan dari Sanksi Ekonomi Negara Barat, China Buka Kemungkinan Invasi ke Taiwan

Sejumlah pejabat China mengungkapkan, Presiden Xi Jinping sedang mencari cara untuk bertahan dari serangan sanksi Barat karena terinspirasi Rusia.

Alexei Druzhinin/Sputnik/AFP
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) dan Presiden China Xi Jinping berfoto selama pertemuan di Beijing, 4 Februari 2022. 

"Sulit bagi AS untuk menjatuhkan sanksi besar-besaran terhadap China. Ini seperti kehancuran yang dijamin bersama dalam perang nuklir," kata Andrew Collier, Direktur Pelaksana Orient Capital Research di Hong Kong.

Presiden China Xi Jinping mengenakan masker saat sedang diperiksa suhu tubuhnya oleh petugas medis di sebuah rumah sakit di Beijing, pada Senin (10/2/2020) sore waktu setempat.
Presiden China Xi Jinping mengenakan masker saat sedang diperiksa suhu tubuhnya oleh petugas medis di sebuah rumah sakit di Beijing, pada Senin (10/2/2020) sore waktu setempat. (SCMP)

Meskipun bisnis China telah menahan diri untuk tidak terang-terangan melakukan bisnis dengan rezim Vladimir Putin sejak Putin memberikan perintah untuk menyerang Ukraina. Presiden Xi Jinping dilaporkan telah mempertahankan beberapa hubungan ekonomi dengan Rusia.

Koordinator Indo-Pasifik Gedung Putih Kurt Campbell dan Laura Rosenberger, pejabat tinggi Dewan Keamanan Nasional China, mengadakan pertemuan di Taiwan dengan perwakilan Inggris pada awal Maret.

AS ingin meningkatkan kerja sama dengan sekutu Eropa, serta terlibat dengan Jepang dan Australia setelah Beijing meningkatkan aktivitas militer. China terus melanggar wilayah udara Taiwan, meningkatkan penyebarannya selama setahun terakhir.

"Mencegah agresi China terhadap Taiwan adalah kepentingan semua orang. Ini bukan hanya masalah Indo-Pasifik, ini adalah masalah global," kata Heino Klinck, mantan pejabat tinggi Pentagon Asia.

"Perencana militer AS tidak mengandalkan Jerman atau Prancis yang mengirim kapal perang, atau Inggris mengirim kapal induk jika terjadi konflik di Taiwan. Tetapi ketika negara-negara itu mengirim kapal ke Laut Cina Selatan, atau transit di Selat Taiwan, itu mengirimkan sinyal yang kuat ke Cina," ujarnya.

Baca juga: China Laporkan Kasus Flu Burung H3N8 Pertama pada Manusia, Akankah Jadi Pandemi Selanjutnya?

Baca juga: Belum Usai Perang Rusia vs Ukraina, Konflik Korea Utara-Korea Selatan Mulai Memanas

Penyebab China Kerap Bersitegang dengan Taiwan

China dan Taiwan telah lama berselisih mengenai kedaulatan pulau tersebut. China selalu menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, lebih tepatnya sebuah provinsi. Namun, banyak orang Taiwan menginginkan pulau itu merdeka.

Dari 1683 hingga 1895, Taiwan diperintah oleh Dinasti Qing Tiongkok. Setelah Jepang mengklaim kemenangannya dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama, Pemerintah Qing terpaksa menyerahkan Taiwan ke Jepang.

Pulau itu kemudian berada di bawah kekuasaan Republik China setelah Perang Dunia II, dengan persetujuan sekutunya AS dan Inggris.

Pemimpin Partai Nasionalis China, Chiang Kai-shek, melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949 dan mendirikan pemerintahannya setelah kalah Perang Saudara dari Partai Komunis dan pemimpinnya Mao Zedong.

Putra Chiang terus memerintah Taiwan setelah ayahnya dan mulai mendemokrasikan Taiwan.

Pada tahun 1980, Cina mengajukan formula yang disebut 'satu negara, dua sistem', di mana Taiwan akan diberikan otonomi yang signifikan jika menerima reunifikasi Cina. Tetapi, Taiwan menolak tawaran itu.

Taiwan hari ini, dengan konstitusinya sendiri dan para pemimpin yang dipilih secara demokratis, diterima secara luas di Barat sebagai negara merdeka. Namun, status politiknya masih belum jelas.

China masih menganggap Taiwan adalah bagian negaranya.

Aartikel ini telah tayang di WartakotaLive dengan judul Terinspirasi Rusia, China Pertimbangkan Invasi Taiwan

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved