Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Politik Santri, Jazilul Fawaid: Pertukaran Ide dan Ideologi, Bukan Pasar ala Machiavelli

Soal politik santri, Jazilul Fawaid sebut pertukaran ide dan ideologi, bukan pasar ala machiavelli

Editor: Munawir Taoeda
Tribunternate.com/Istimewa
DIALOG: Para Narsum pada acara Halaqoh Pendidikan Politik Santri di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, Yogyakarta, Senin (15/7/2023). 

Sering kali, fakta sejarah ini disalahpahami oleh para orientalis, yang menyebut Nabi saw seorang yang ambisius. Padahal, berpolitik itu bagian dari agama.

Berpolitik dalam pengertian amar ma'ruf nahi munkar adalah bagian dari agama.

Di zaman dahulu, kelompok muslim pertama yang menjadikan amar ma'ruf nahi mungkin sebagai bagian dari konstitusi negara adalah Mu'tazilah.

Itulah alasan terjadinya Fitnatul Qur'an, konflik berdarah di tengah umat muslim.

Kemudian, dalam tradisi pesantren, politik dimasukkan ke bagian-bagian Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah.

Seiring berjalannya waktu, termasuk sejak adanya acara halaqoh pendidikan politik santri di Baitul Kilmah, politik dimasukkan ke dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu Fikih Siyasah.

Kalau kita mau menggali lagi sejarah umat muslim, maka terlihat jelas semua orang berpolitik.

Hanya saja, waktu itu tidak ada partai politik seperti sekarang. Misalnya, para wali dan sunan (baca: Walisongo) juga berpolitik.

Tetapi tidak menggunakan bendera partai. Sebab, para wali memberikan pengaruh yang paling optimal kepada raja-raja. Para wali memberikan input spiritual kepada raja-raja.

Di sinilah letak persamaan PKB dan partai-partai Islam lainnya, yang memiliki akar yang sama, yaitu mengembangkan pemikiran para kiai. Namun, mengembangkan spirit berbeda.

Bahkan, Bung Karno juga belajar kepada kyai, seperti H.O.S Tjokroaminoto, meskipun nanti referensi Bung Karno banyak dari Barat.

Karena itulah, kita semua harus bertanya, politik yang aktual itu seperti apa? Sebab, hari ini politik disempitkan menjadi politik elektoral, dimana menang dan kalah ditentukan oleh jumlah perolehan suara.

Fenomena ini tidak pernah ada ada catatan Turots yang lahir di zaman para khalifah.

Dampaknya, ukuran kemenangan bukan lagi kebenaran melainkan banyaknya perolehan suara.

Jazilul Fawaid kemudian menyimpulkan fenomena sekarang, “politik itu sama dengan elektoral.

Halaman
123
Sumber: Tribun Ternate
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved