Halmahera Timur
Halmahera Timur Berbenah Menuju Transformasi Kemajuan

Hasil Pilgub Malut 2024

Muksin Amrin Sebut Gugatan Pilkada 2024 untuk Maluku Utara Potensi Ditolak MK, Ini Alasannya

Muksin Amrin: "Peserta yang mengajukan gugatan harus memenuhi selisih perolehan suara terbanyak yakni 2 persen dari total suara sah"

Penulis: Randi Basri | Editor: Munawir Taoeda
Tribunternate.com/Istimewa
PILKADA: Anggota DPRD Maluku Utara Muksin Amrin 

TRIBUNTERNATE.COM, TERNATE - Muksin Amrin menyebut gugatan Pilkada 2024 untuk Maluku Utara, berpotensi ditolak mahkamah konstitusi (MK).

Anggota DPRD Maluku Utara mengatakan, Pilkada serentak pada 27 November 2024 telah berakhir.

Dan hasil penetapan dan perolehan suara calon kepala daerah (Cakada) sudah diumumkan KPU Provinsi/Kota dan Kabupaten.

Namun Pasal 157 ayat (3) Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah menegaskan, peserta diberi hak konstitusi mengajukan permohonan sengketa hasil.

Baca juga: Kodim 1501 Ternate Gagalkan Penyelundupan 1.300 Botol Cap Tikus

Apabila dipandang hasil penetapan perolehan suara tidak berdasar atas hukum, atau setidaknya terjadi perselisihan antara hasil yang dimilikinya.

Maka diberi waktu 3 hari, terhitung sejak KPU Provinsi/Kota dan Kabupaten mengumumkan hasil penetapan dan perolehan suara. 

Jadi ketentuan Pasal 158 mengatur tentang ambang batas sebagai syarat formil dalam beracara PHPU di MK. 

"Kalau dibaca ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a, dikaitkan dengan jumlah penduduk Maluku Utara baru 1,3 juta jiwa."

"Maka syarat formil yakni jumlah penduduk  sampai dengan 2 juta, harus memenuhi ambang batas 2 persen dari total suara sah akhir yang ditetapkan, "jelas Muksin, Minggu (8/12/2024).

Artinya peserta yang mengajukan gugatan harus memenuhi selisih perolehan suara terbanyak yakni 2 persen, dari total suara sah.

Sebaliknya untuk Kabupaten/Kota, karena jumlah pendudukan di bawah rata-rata 250 ribu, maka harus memenuhi perbedaan paling banyak 2 persen dari total suara sah. 

"Berdasarkan hasil penetapan suara di masing-masing KPU Provinsi/Kota dan Kabupaten, maka sesuai ketentuan MK berhak menolak permohonan pemohon dalam proses dismissal, atau setidaknya dalam sidang pendahuluan nanti, "jelasnya.

Namun dalam perkembangannya MK telah mengubah sikap saat pemberlakuan ketentuan ambang batas, sebagai syarat formil permohonan perselisihan.

Pemberlakuan sikap ini telah ditunjukan MK dalam beberapa putusan Pilkada sebelumnya.

Selain itu juga, tidak mudah meyakinkan MK merubah sikap atau mengesampingkan syarat formil. 

Pemohon membutuhkan kekuatan pembuktian ada tidaknya terjadi kesalahan, kelalaian dan termasuk ada peristiwa pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM). 

"Persoalan TSM harus terlebih dahulu dilakukan pengujian Pelanggaran Administrasi TSM di Bawaslu Provinsi, sebagai lembaga yang diberi mandatori, "ujar Muksin.  

Untuk menguji pelanggaran TSM, Pelanggaran TSM bukanlah sesuatu yang mudah.

Baca juga: Pemprov Maluku Utara Umumkan Jadwal Seleksi Kompetensi Bidang CPNS 2024

Pembuktian secara hukum, sebab syarat TSM harus memenuhi tiga komponen peristiwa hukum secara kumulatif, yakni pelanggaran terstruktur, yaitu pelanggaran dilakukan aparat struktural baik pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif. 

Sementara pelanggaran massif sebagai kecurangan direncanakan secara matang, terstruktur dan rapi, dan massif dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.

"Kesemuanya itu harus dibuktikan secara kumulatif dalam sidang pendahuluan nanti di MK. Gugatan hasil pilkada di maluku utara berpotensi ditolak oleh MK dalam sidang putusan pendahuluan nanti, "tutupnya. (*)

Sumber: Tribun Ternate
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved