Terkini Internasional
Turki Keluar dari Perjanjian Internasional Melawan Kekerasan terhadap Perempuan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk keluar dari perjanjian pertama di dunia untuk mencegah dan memerangi kekerasan terhadap perempuan
TRIBUNTERNATE.COM - Turki memutuskan untuk keluar dari sebuah perjanjian internasional dalam memerangi femisida*) dan kekerasan dalam rumah tangga.
*) Mengutip laman Komnas Perempuan, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Langkah Turki ini pun memantik aksi demonstrasi di Istanbul.
Polisi menembakkan gas air mata ke para pengunjuk rasa di Istanbul yang menentang keputusan Turki ini pada Kamis (1/7/2021).
Pada Maret 2021 lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk keluar dari perjanjian pertama di dunia yang dibuat untuk mencegah dan memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Perjanjian tersebut dikenal sebagai Konvensi Istanbul (Istanbul Convention).
Langkah Erdogan pun memicu kemarahan internasional.
Baca juga: Viral Video Petugas Pemakaman Jenazah Covid-19 Diusir Warga, Ini Tanggapan Kadinkes
Baca juga: Kenali Tingkatan Gejala Penderita Covid-19 dan Ketentuan Tempat Isolasi Mandiri yang Ideal
Sementara itu, ratusan orang berunjuk rasa mendukung Konvensi Istanbul pada Kamis (1/7/2021) malam di Istanbul.
Namun, aksi protes menjadi tegang setelah polisi tidak mengizinkan para pengunjuk rasa berjalan ke Taksim Square, kata seorang koresponden AFP sebagaimana diwartakan Channel News Asia.
Para pengunjuk rasa pun mendorong barikade meskipun berulang kali diperingatkan oleh polisi.
Ada demonstrasi di seluruh Turki termasuk ibu kota Ankara, di mana aksi demo masih berlangsung dengan damai.

Konvensi Istanbul merupakan pakta yang ditandatangani oleh 45 negara dan Uni Eropa.
Dalam pakta tersebut, pemerintah diharuskan untuk menerapkan undang-undang terkait kejahatan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) dan sunat/mutilasi genital perempuan.
Langkah Erdogan diambil ketika dia berpegang pada dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan nasionalis untuk mempertahankan kekuasaannya selama 18 tahun.
Organisasi hak asasi manusia di negara tersebut mengatakan keputusan Erdogan akan menempatkan perempuan pada risiko kekerasan yang lebih besar mengingat kasus femisida sudah kerap terjadi di Turki.
"Kami sangat frustrasi. Setiap hari seorang wanita yang kami kenal atau tidak kenal dibunuh. Tidak ada jaminan bahwa kami tidak akan mengalami perlakuan yang sama besok," kata Nevin Tatar (35) selama demonstrasi di Istanbul.
Para pengunjuk rasa termasuk beberapa yang membawa bendera motif warna pelangi, meneriakkan sebelumnya: "Kami tidak akan diam, kami tidak takut, kami tidak akan patuh!"
Baca juga: Covid-19 Varian Delta Merebak, Presiden Filipina Duterte Ancam Penjarakan Warga yang Enggan Divaksin
Baca juga: Jusuf Kalla Soroti Penutupan Tempat Ibadah dalam Aturan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021
Baca juga: BPOM Terbitkan Otorisasi Penggunaan Darurat untuk Vaksin Covid-19 Moderna
JANJI PRESIDEN
Pada Kamis, Erdogan menegaskan bahwa komitmen Turki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan tidak akan terguncang karena keputusannya ini.
"Karena perang melawan kekerasan terhadap perempuan tidak dimulai dengan perjanjian ini, maka komitmen kami tidak akan berakhir karena kami menarik diri [dari perjanjian tersebut]," katanya.
Erdogan berbicara di sebuah acara di istana kepresidenan di Ankara untuk rencana aksi nasional dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Namun, Erdogan mengatakan "perjuangan itu tentang melindungi kehormatan ... para ibu dan anak perempuan."
Pada 2016, Erdogan melontarkan komentar yang cenderung membuat marah para wanita Turki, yakni merekomendasikan para wanita untuk memiliki tiga anak.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa [kodrat] seorang wanita "tidak sempurna" jika dia tidak memiliki anak.
MENYENANGKAN KAUM KONSERVATIF
Ajudan pers utama Presiden Recep Tayyip Erdogan, Fahrettin Altun, melontarkan pembenaran terkait keputusan Turki mundur dari Konvensi Istanbul pada Maret 2021 lalu.
Fahrettin mengatakan, referensi perjanjian untuk pelanggaran berbasis gender telah "dibajak oleh orang-orang yang mencoba untuk menormalisasikan homoseksualitas."
Menurut Fahrettin, gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (LGBTQ) "tidak sesuai" dengan nilai maupun norma sosial dan keluarga Turki.
Sementara itu, gelombang protes yang dipimpin mahasiswa yang mendukung hak-hak yang lebih luas digelar di sejumlah kota besar di Turki pada awal 2021 lalu.
Diketahui, homoseksualitas telah dilegalkan di Turki sejak era Kekaisaran Ottoman.
Baca juga: PPKM Darurat Berlaku 3-20 Juli 2021, Ini Daftar Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali yang Menerapkannya
Baca juga: Gelombang Panas di Kanada dan AS: Ratusan Orang Meninggal Dunia, Risiko Kebakaran Hutan Meningkat
Namun, kelompok-kelompok hak-hak perempuan menuduh Ankara menarik diri dari perjanjian itu untuk menyenangkan kaum konservatif pada saat partai berbasis Islam yang berkuasa di masa Erdogan mencatat tingkat dukungan yang menurun.
Mundurnya Turki dari Konvensi Istanbul juga dikecam oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Pada Selasa (29/6/2021) lalu, pengadilan administrasi tertinggi Turki menolak upaya untuk membatalkan mundurnya negara itu dari Konvensi Istanbul.
Pihak pengadilan mengatakan bahwa Erdogan memiliki "wewenang" untuk membuat keputusan.
BAHAYA MENINGKAT
Tahun lalu, sebanyak 300 wanita tewas terbunuh di Turki, menurut kelompok hak asasi We Will Stop Femicide Platform.
Sementara 189 wanita juga telah terbunuh sepanjang tahun ini.
"Penarikan dari pakta tersebut mengirimkan pesan yang sembrono dan berbahaya kepada para pelaku yang menyalahgunakan, melukai, dan membunuh para wanita: bahwa mereka dapat terus melakukannya tanpa mendapat hukuman," kata sekretaris jenderal Amnesty International, Agnes Callamard.
Sebelum penarikan, organisasi perempuan mendesak Ankara untuk menerapkan perjanjian untuk melindungi kaum perempuan.
"Kami berjuang agar konvensi dilaksanakan. Mereka percaya mereka bisa keluar dari konvensi dengan kata-kata dari satu pria. Tapi para wanita tidak akan menyerah," kata Ipek Deniz, 35, kepada AFP di Istanbul.
Kegubernuran Istanbul melarang pawai Pride pada akhir pekan lalu.
Saat itu, polisi mengerahkan kekuatannya saat menahan puluhan pengunjuk rasa dan menjepit seorang fotografer AFP ke tanah, hingga hal ini memicu pengaduan resmi.
Parade tersebut diadakan setiap tahun di Istanbul hingga tahun 2015, dan biasa dihadiri oleh ribuan orang.
Kritikus mengatakan larangan pawai Pride dan penarikan diri dari Konvensi Istanbul menunjukkan Islamisasi merayap di bawah era Recep Tayyip Erdogan, yang pertama kali berkuasa sebagai perdana menteri pada 2003 silam.
SUMBER: AFP via Channel News Asia
(TribunTernate.com/Rizki A.)